Jumat, 16 Maret 2012

Etika Politik Indonesia

Sebelum kita mmebicarakan masalah etika, sudah terbayang dalam ingatan kita beberapa sulit mendefinisikan etika secara tepat . masalah etika sedemikian kompleks dan banyak yang terkait denganya. Itulah sebabnya politik sulit dicari definisi yang paling sesuai. Apa lagi jika etika harus dibedakan dengan moral. Bayangan kesulitan akan muncul seketika pula pula. Sebelum membahas etika lebih lanjut ada baiknya kita melihat contoh di bawa ini.
Suatu saat anda mengikuti suatu kuliah di kampus anda. Anda termasuk orang yang cuek terhadap penampilan. Pokoknya apa yang anda kenakan itulah diri anada bagi anada mahasiswa itu yang penting “Otak”-nya dan bukan penampilan. Sebab , segala aktifitas perkuliahan dan dunia kemahasiswaan hamper seluruh dilakaukan dan dipecahkan dengan mengunakan otak. Karena demikian alasan anda, dalam kuliah pun anda terkesan penyepelekan sesuatu yang berwujud fisik. Pada pertengahan kuliah, sambil mendengarkan keteranagan dosen, anda mengangkat kaki dan diletakkan diatas bangku anda. Bagi anda tiada masalah sebab kuliah itu yang penting adalah “otak”. akan tetapi, cerita tersebut ternyata tidak berhenti sampai disitu saja. Dosen dan teman-temananda bereaksi atas perilaku anda. Banyak beragam reaksinya, ada yang hanya membantin atau anda dikatakan tidak mempunya sopan santun.
Cerita diatas merupan realitas konkret yang terjadi di masyarakat kita, bias jadi itu sekedar contoh kecil. Bahwa apa yang menurut kita baik, belum tentuk baik juga menurut kebanyakan orang. Masalahnya, kita hidup dengan orang lain atau tepatnya dalam masyarakat. Dalam masyarakat ada aturan-aturan tertentu baik tertulis atau tidak tertulis yang di yakini sebagai tolak ukur dalam sikap dan perilaku anggota kelompoknya, meskipun diakui juga bahwa aturan para komunitas masyarakat berbeda satu sama lain. Intinya bahwa aturan (salah satunya etika) itu penting jika kita merupakan manusia normal dan menjadi konsepkuensi tata pergaulan social. Karena manusia normal jelas membutuhkan pergaulan dengan masyarakat. Dalam proses pergaulan, jelas dibuthkan peraturan agar terjadi harmoni kehidupan sebab, jarang manusia yang tidak membutuhkan harmoni dan keteraturan.
A. Etika, Etik, Dan Moral
Pernakah kita mendengar kata-kata bahwa mariolitas bangsa Indonesia sudah bobrok? Pernyataan ini sering kita dengar jika di kaitkan dengan praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang semakin mengalami peningkatan. Para elit politik yang awalnya getol menyuarakan pemberantasan KKN tersebut. Termasuk komentar bahwa mereka rela untuk saln mengklaim diri dan paling benar dan menyalahkan pihak lain. Apa pun caranya di lakukan untuk kepentingan politik.
Di sisi lain, kita juga sering mendengar anggota DPR yang jarang masuk kantor pada masa sidang. Dari masa sidang. Dari masa Sidang satu I (16 Agustus – 27 September 2002), Sidang II (28 Oktober – 29 November 2002), dan sidang III (13 Januari – 7 Maret 2003) lima praksi terbesar di DPR ternyata mempunyai anggota yang jarang atau tidak pernah hadir dalam persidangan itu. Setidaknya, ada sekitar 16 anggota FPDI-P, 5 Anggota FPG, 4 Anggota F-PPP, 3 FKB, dan 1 anggota F-Reformasi yang tidak pernah hadir. Para anggota DPR yang tidak pernah hadir tersebut biasa dikatakan tidak mengetahui kode etik DPR.
Sebelum membahas etika politik, perlu digaris bawahi tentang pengertian etika. Disamping itu, juga perlu diketahui pengertian moral.
Kata moral berasal dari bahasa latin mores. Mores berasal dari kata mos yang berarti kesulilaan, tabiat, atau kelakuan. Demikian, moral bias di artikan sebagai ajaran kesusilaan. Moralitas berarti hal mengenai kesusilaan. Yang membuat ajaran baik-buruknya perbuatan dan kelakuan. Dari asal katanya bias di tarik kesimpulan bahwa moral mempunyai pengertian yang sama dengan kesusilaan, yang membuat ajaran tentang baik buruknya perbuatan jadi perbuatan di nilai sebagai perbuatan yang baik atau perbuatan yang buruk (Burhanuddin salam, 2000).
Sementara itu, istilah etika berasal dari kata latin Ethic. Sedangkan dalam bahasa Gerik Ethikos (a body of moral principles or values). Dengan demikian, ethic berarti kebiasaan habib, custom. Yang di maksud dengan baik atau buruk dalam hal ini yang sesuai dengan kebiasaan masyarakat atau tidak, meskipun kebiasaan masyarakat akan berubah sejalan dengan perkembangan masyarakat, etika dengan sendirinya bisa di artikan sebagai ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang jahat. Etika sendiri sering digunakan dengan kata moral, susila, budi pekerti dan akhlat.
Ada kesan bahwa antara moral dengan etika itu tumpang tindih pengertianya. Moral berbicara dengan prilaku baik dan buruk, sementara etika etika juga begitu, untuk memperjelasnya, mengapa perlu ada batasan tentang etika, definisi yang sedikit netral bias kita jumpai dalam kamus besar bahasa Indonesia yang menerangkan bahwa etika adalah (1) ilmu tentang apa yang baik dan buruk dan tentang hak dan kewajiban moral; (2) kumpulan asas/nilai yang berkenaan kewajiban dengan akhlat; (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh golongan tertentu
Menurut K. Bertens (1994), etika adalah ilmu yang membahas tentang moralitas atau tentang manusia sejauh yang berkaitan dengan moralitas. Dengan kata lain etika adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku moral. Secara lebih sederhana Prof. I.R Poedjowijatna (1986) mengatakan bahwa sasaran etika khusus kepada tindakan-tindakan manusia yang dilakukan dengan sengaja. Dalam pratiknya sasaran manusia juga karena tindakan itu merukan kesatuan dan keutuhan. Lapangan penyelidikan etika memang manusia tetapi etika berbeda dnegan ilmu manusia. Karena ilmu manusia menyelidiki manusia itu sendiri dari sudut “luar”. Artinya , badannya dengan segala apa yang perlu untuk badan itu, objek materi etika tetap manusia, tetapi objek formalnya adalah tindakan yang dilakuakan demngan sengaja.
Franz Magnis-suseno (2001) membedakan etika menjadi dua, yakni etika umum dan etika khusus. Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip dasar yang berlaku bagi segenap tindakan manusia, sedakan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungannya dengan kewajiban moralmanusia dalam berbagai lingkup kehidupannya. Dibedakan antara etika invidual yang mempertanyakan kewajiban manusai bagi invidu, terutama terhadap dirinya sendiri dan melalui suara hati, terhadap yang ilahi dan etika sosial.
Etika social jauh lebih luas di banding etika invidual karena hamper semua kewajiban manusia bergan dengan dengan kenyataan bahwa ia merupakan mahluk social. Dengan bertolak dari martabat manusia sebagai pribadi yang sosial, etika sosial membahas norma-norma moral yang seharusnya menentukan sikap dan tindakan antar manusia.
Dalam pembahasan yang lebuh kongket, K. Bertens memilih-milah defenisi etika kedalam tiga hal berikut :
1. Kata etika bias dipake dalam arti nilai-nilai moral. Yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, misalnya jika orang berbicara tentang “ etika suku Indian”, “etika agama Budha”, etika Prosestan”, maka tidak dimaksudkan “Ilmu” melainkan nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh golongan tertentu. Secara singkat, arti ini bias dirumuskan sebagai “sistem nilai”.
2. Etiak jugaa berarti juga kumpulan asas atau nilai moral. Yang dimaksud disini adalah kode etik (misalnya kode etik DPRmisalnya dan sebagainya).
3. Etika termasuk ilmu tentang yang baik atau yang buruk. Etika beru menjadi ilmu, bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja yang diterima dalam suatu masyarakakat-sering kali tampa disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu penilitian sistimatis dan metodis . etika disini sama artinya dengan filsafat moral.
Untuk menjelaskannya, bartens kemudian mencoba menjelaskan kaitan antara etika, moral, dan etiket. Bagianya secara etimologi etika dan moral sama artinya, meskipun asal katanya berbeda, tetapi bias bararti bahwa etika merupakan moral itu sendiri, sedangkan etika itu berarti sopan santun.
Lalu jika demikian apakah ada perbedaan antara etika dengan etiket? Ada beberapa perbedaan yang bias dilihat sebagai berikut
a. Etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan manusia. Diantara beberapa cara yang mungkin, etiket menunjukan cara yang tepat, artinya cara yang di harapkan serta di tentukan dalam suatu kalangan tertentu. Misalnya, menyerahkan buku dengan tangan kiri pada orang tua. Namun demikian, etika tidak terbatas pada cara dilakukannya seatu perbuatan, etika member etika tentang perbuatan itu sendiri, etika menyakku masalah apakah suatu perbuatan boleh dilakukan atau tidak. Mengambil barang milik orang lain tampa isin tidak pernah di perbolehkan. “jangan mencuri” merupakan norma etika. Norma etis tidak terbatas pada cara perbuatan dilakukan, melainkan menyangkut perbuatan itu sendiri.
b. Etiket berlaku dalam pergaulan. Bila tidak ada orang lain yang hadir atau tidak ada saksi mata sekali pun, etika tidak tergantung pada hadir tindakannya orang lain. Larangan untuk mencuri selalu berlaku, entah ada orang lain atau tidak. Barang yang dipinjam harus di kembalikan meskipun pemiliknya sudah lupa.
c. Etiket bersifat relatif. Hal yang di anggap tidak sopan pada suatu kebudayaan lain. Etiaka jauh lebih absolute. “Jangan Mencuri”, “Jangan Berbohong”, “Jangan Membunuh” merupakan prinsip-prinsip etika yang tidak dapat ditawar atau diberi dispensasi, memang benar ada kesulitan cukup besar mengenai keabsolutan prinsip-prinsip etis yang jelas etiket lebih bersifat relatif.
d. Jika kita berbicara etiket, kita Cuma memandang manusia dari segi lahiriah, sedangkan menusi menyangkut manusia dari dalam bias saja orang tampil dedang “Musang Berbulu Domba”, dari luar sangat sopan dan halus, tap didalam penuh kebusukan, banyak penipu berhasil dengan maksud jahat mereka, justru penampilannya begitu halus dan menawan hati sehingga sehingga mudah meyakinkan orang lain, tidak merupakan kontradiksi, jika seseorang selalu berpegang pada etiket dan bersifat munafik, sebab seandainya di munafik, hal itu berarti ia tidak bersifap etis.
Dalam berbagai pendapat diatas, bias dikatakan bahwa etika merupakan dari filsafat, sedangakan moral merupakan bagian dari etika. Seperti dikatakan Franz Magnis-Suseno, etika adalah ilmu yang membahas moralitas atau manusia sejauh berkaitan dengan moralitas. Bahkan seperti dikatakan oleh Louis O. Kattsoff dalam bukunya Element of philosophy,etika merupakan penyelidikan filsafat tentang bidang moral dan etika itu sama, tetapi dalam pemakeyannya ada perbedaan.
B. Mengapa mempelajari etika?
Pertanyaan kita mengapa kita perlu mempelajari etika, mengapa masyarakat membutuhkan etika? Lebih khusus pertanyaan tersebut bisa di perinci begini : mengapa dengan proses komunikasi diperlukan etika?
Untuk menjawab pertanyaan diatas terdapat banyak kreteria dan tafsiran yang bias di ajukan yang bias di juakan, apalagi, masalah etika itu berkaiatan dengan masyarakat yag berbeda serta akan berubah atau rentang waktunya. Bisa jadi, ukuran sesuatu di katakana beretika puluhan tahun yang lalu berbeda dengan saat sekarang, puluhan tahun yang lalu, para politikus di Indonesia merasa malu untuk melakukan “kecurangan politik”. saat ini,haldemikian dilakukan secara terbuka. Menculnya praktik politik uang dalam pemilihan gubernur, wali kota dan bupati. Adalah realitas konkret dimana dimana masalah etika politik berbeda sesuai kurum waktunya. Maka mempelajari atau mempraktikkan etika moral dalam kehidupan bermasyarakat sudah menjadi satu keharusan.
Ada beberapa alasan mengapa kita perlu mempelajari.
1. Saat ini kita hidup dalam masyarakat yang terus berkembang. Perkembangan demikian akan membuat masyarakat semakin plural. Misalnya, suku, agama, antargolongan, tuntutan hidup, kejahatan yang kiann meningkat dan sebagainya, hal ini sejalan dengan tingkat dan sebagainya. Hal ini sejalan dengan tingkat perkembangan masyarakat. Pluralitas yang demikian akan berdampak pada kepentingan individu yang kian tajam. Sebagai mana kita ketahui, perkembangan tehnologi komunikasi khususnya berdampak pada pemupukan sifat individu manusia. Padahal manusia kodratnya juga sebagai mahluk social. Hidup bermasyarakat. Tampa etika, manusia akan manjadi “Pemangsa” bagi sesamanya. Etika akan mengajarkan atau akan mengarahkan perbuatan mana yang baik dan buruk atau perbuatan mana yang boleh dan tidak menurut etika masyarakat umum.
2. Bagaimana dikatakan Romo Magnis-Suseno, etika diperlukan kalangan agamawan yang di satu pihak menemukan dasar kemantapan mereka dalam iman dan kepercayaan mereka, di pihak lain sekaligus mau berpartisipasi tampa takut-takut dan dengan tidak menutup diri. Dalam semua dimensi kehidupan masyarakat yang berubah. Jika kita tarik benan merah dari pendapat Romo tersebut, etika penting sebab akan bisa mengukuhkan keyakinan iman seseorang. Sebab, perbuatan itu baik itu di anjurkan oleh semua agama. Tidak ada agama yang menganjurkan penganutnya untuk mencuri. Malahnya, masyarakat yang semakin plular juga membuka peluang komflik antarumat beragama semakin terbuka lebar. Pada hal mereka “Kaum agamawan”. Mengapa ajaran agama yang memberikan penekanan bahwa berbut baik itu baik, tidak jarang mereka justru menyulut permusuhan. Disenilah etika itu penting sebagai pedoman hidup bermasyarakat. Pendapat ini tidak di masukan bahwa etika itu lebih tinggi dari ajaran agama. Akan tetapi , mereka kaum agamawan yang di anggap lebih tauh ajaran agama senang dengan komflik dan menyulut permusuhan dengan agama lain? Bukankah mereka sendiri yang menurunkan kadar ajaran agama ajaran agamanya sendiri.? Dalam posisi ini, etika penting, palin tidak sebagai “ajaran” yang netral. Alasannya pula, semua agama mengajarkan etika yang sama.
Masyarakat modern yang cenderung hidup dalam individualism disertai kompetisi hidup yang semakin ketat ini menuntuk masing-masing orang untuk bertahan. Masing-masing orang harus bersaing dalam kehidupan yang semakin semakin keras dan tajam bahkan bersaing dengan pihak-pihak yang hanya mau menang sendiri. Kepentingan individu untuk bertahan di tengah persaingan yang ketat inilah yang menjadi ancaman etika. Sebab Anggota DPR mau belajar Etika ke Yunani? Bagus! Nampaknya para anggota DPR yang terhormat cukup peka juga terhadap masukan dari masyarakat perihal perilaku mereka yang tidak etis, seperti saling memaki atau bahkan baku pukul di sidang DPR atau di studio TV, atau bertingkah arogan terhadap pejabat-pejabat negara, wa bil khusus Kapolri dan Jaksa Agung, bahkan Presiden juga termasuk. Maksud para anggota DPR itu tentunya, kalau mereka sudah belajar etika ke Yunani, maka mereka bisa mengajari rekan-rekan anggota DPR yang lain untuk beretika juga, sehingga NKRI nantinya akan mempunyai DPR yang santun dan menyejukkan, walaupun tidak berkurang kritisnya. Bagus lagi!
Tetapi mengapa ke Yunani? Tanya wartawan. Karena etika diajarkan oleh filsuf-filsuf Yunani seperti Socrates, Plato dan Aristoteles, atau yang lebih terkenal dengan trio-SPA. Tidak bagus! Kenapa? Karena trio-SPA hidup di Yunani 400 tahun Sebelum Masehi. Yunani ketika itu masih disebut sebagai Yunani Kuno, yang masyrakatnya masih terbatas di di seputar kota Athena, dan struktur masyarakatnya jauh berbeda dari Yunani modern yang kita kenal sekarang. Yang jelas trio-SPA sudah almarhum semua. Terus mau belajar sama siapa?
Semua orang di seluruh dunia, di zaman sekarang, kalau mau belajar dari trio-SPA bisa membaca buku-buku mereka yang sudah diterjemahkan ke dalam hampir semua bahasa dunia. Yang dalam bahasa Indonesia pun ada dan bisa dibeli di toko-toko buku. Kalau kurang puas dengan trio-SPA, dan mau belajar lebih mendalam dari guru yang pandai, di dunia ini tersebar pakar-pakar filsafat etika, baik yang sudah almarhum seperti Emanuel Kant, John Stuart Mill atau Jeremy Bentham (buku-buku mereka juga banyak sekali), maupun yang masih segar bugar. Di Indonesia sendiri banyak sekali profesor etika yang dengan mudah dijumpai di berbagai fakultas atau program studi filsafat di universitas-universitas (UI, UGM, UIN), atau di sekolah-sekolah tinggi (ST Teologia, ST Filsafat Driyarkara). Saya sendiri belasan tahun lamanya mengajar Filsafat Etika di UI (Prodi S1 Psikologi, dan Prodi S2 Kajian Ilmu Kepolisian).
Jadi ide balajar etika, bagus! Tetapi kalau belajarnya harus ke Yunani, tidak bagus! Ibaratnya akan belajar Islam, tidak usah mencari kuburan Rasulluah di Medinah sana, cukup membuka Al Qur’an dan kitab Hadists di rumah, dan kalau masih merasa kurang, bisa bertanya ke Kiai di pesantren dekat rumah, atau tanya ke twitter-nya Profesor Komarudin Hidayat.
Tetapi untuk belajar etika, sebetulnya kita tidak usah belajar ke siapa-siapa. Kong Hu Cu (atau Confusius, 551-479 SM) pernah mengajarkan the Golden rule of Ethics yang bunyinya seperti ini (saya kutip dari Wikipedia), "What one does not wish for oneself, one ought not to do to anyone else; what one recognizes as desirable for oneself, one ought to be willing to grant to others.", yang terjemahan bebasnya kira-kira adalah “Kalau kamu tidak mau disakiti orang lain, janganlah menyakiti orang; kalau kamu mau dibaiki orang, maka baik-baiklah pada orang lain”.
Sangat mudah bukan? Tetapi prakteknya memang tidak begitu mudah, karena sebagai manusia, kita semua senang melihat orang lain susah, tetapi susah kalau melihat orang lain senang. Nah, di sinilah datangnya egoisme. Menurut psikoanalis Sigmund Freud, egoisme itu manusiawi, karena semua aktivitas manusia terpusat di Ego yang merupakan bagian utama dari jiwa manusia. Tetapi ego ini, kata Freud, perlu dikendalikan, agar tidak didominasi oleh bagian lain dari jiwa yang disebut Id, yaitu tenpat naluri-naluri hewaniah, termauk hawa nafsu, tersimpan. Kalau Ego terlalu menuruti kemauan Id, kata Freud, maka perilakunya akan mengganggu orang lain, atau masyarakat. Di situlah pentingnya Super-ego, yaitu bagian jiwa yang tugasnya mengendalikan ego agar selalu memperhatikan norma-norma, nilai-nilai dan etika agar tidak menimbulkan masalah dalam ke;uarga, tetangga dan masyarakat.
Tetapi dari mana datangnya Super-ego ini? Kata Freud, berbeda dari Id yang merupakan faktor bawaan (dibawa sejak lahir), Super-ego diperloleh secara bertahap dari masukan orangtua. Orangtualah yang mengajarkan apa yang boleh atau yang baik dan yang tidak boleh atau yang tidak baik kepada anak-anaknya. Jadi belajar etika tak perlu jauh-jauh ke Socrates atau Kong Hu Cu, cukup menengok kata orangtua. Orangtua biasanya mengajarkan pada anak-anaknya untuk selalu hormat kepada oramg yang lebih tua, menghargai dan melindungi perempuan atau orang yang lebih lemah, menjaga perasaan orang lain dan sebagainya. Orang Jawa punya sejumlah pedoman perilaku yang tergolong etika seperti ing ngarso sung tulodo, ing madyo mbangun karso, tut wuri handayani (etika untuk pemimpin), atau ojo gumunan (jangan cepat kagum), ojo dumeh (jangan mentang-mentang), tepo saliro (mawas diri sebelum menilai orang lain), menang tanpa ngalahake (menang tanpa perlu mengalahkan orang lain), mo-limo (lima pantangan), dan seterusnya. Kebanyakan etika Jawa itu ditulis oleh pujangga-pujangga Jawa bersumber dari petuah-petuah orang-orang tua jaman kuno, tetapi tidak satupun yang mengacu kepada para filsuf Yunani.
Begitulah, setiap kelompok budaya punya etikanya masing-masing. Nilai universalnya mungkin sama, namun perwujudannya bisa berlainan. Di Indonesia, penghargaan terhadap orangtua yang udah lanjut usia adalah dengan cara memintanya tinggal di rumah salah satu anak untuk dijaga dan dirawat baik-baik Di Belanda orangtua dihargai dengan menempatkannya di panti jompo yang mahal dan full facility. Sementara itu suku Eskimo mengormati kakek-kakek veteran pemburu yang perkasa, dengan membawa mereka ke tengah padang salju yang maha luas dengan dilengkapi makanan dan alat berburu secukupnya dan meninggalkannya begitu saja dengan kepercayaan bahwa kakek itu akan mencari jalannya sendiri menuju apa yang mereka namakan sebagai “padang perburuan abadi”.
Komunitas profesi pun punya etika masing-masing: dokter, polisi, pengacara, psikolog dan sebagainya. Etika itu biasanya merupakan hasil kesepakatan dari orang-orang yang paling dipercaya di komunitas masing-masing (di Ikatan Dokter Indonesia oleh Majelis Kehormatan Kedokteran) dan dirumuskan seara tertulis dan dibukukan. Karena bentuknya sudah tertulis dan dikodifikasi sebagaimana laiknya undang-undang, maka etika profesi itu biasa disebut Kode Etik (seperti Penal Code, untuk hukum Pidana).
Agama juga punya etika. Dalam agama-agama Yahudi, Kristen dan Islam, dipercaya bahwa etika itu dituliskan sendiri oleh Tuhan dan diberikan kepada Nabi Musa a.s. dan disebut dengan “10 Perintah Tuhan”. Tetapi karena namanya juga agama, maka empat butir pertama dari 10 PerintahTuhan itu menyangkut hubungan dengan Tuhan sendiri, yaitu (1) Akulah Tuhanmu, (2) Jangan menyembah Tuhan lain, (3) Jangan menyia-nyiakan/menyalahgunakan nama-Ku, dan (4) Selalu sucikan hari Sabbath. Baru pada enam butir berikutnya Tuhan mengatur etika dalam hubungan antar manusia, yaitu (5) Hormati ayah-ibumu, (6) Jangan membunuh, (7) Jauhi Zina, (8) Jangan mencuri, (9) Jangan memberikan kesaksian palsu tentang tetanggamu dan (10) Jangan menginginkan harta atau isteri tetanggamu.
Fokus etika dalam agama Budha, adalah dalam hubungan antar manusia saja, yang intinya adalah sesama mahluk harus saling menyayangi dan mengasihi, karena dalam Budha tidak dikenal konsep Tuhan seperti yang dianut oleh agama-agama Yahudi, Kristen dan Islam. Tetapi dalam agama Yahudi, Kristen dan Islam pun jelas dipisahkan antara hubungan manusia dengan Tuhan (dalam istilah Islam: hablul minallah) dan hubungan antar sesama manusia (hablun minanas). Keduanya sama pentingnya, bahkan sebagian ulama (Islam) mengatakan bahwa kalau ada yang harus didahulukan maka hubungan sesama manusia harus diberi prioritas dari pada hubungan dengan Tuhan. Jadi, menolong orang yang sedang mengalami kesusahan, misalnya, tetap harus dilakukan, walaupun orang tersebut tidak seiman dengan kita. Susahnya, sebagian dari kita sering menukar-nukar prioritas. Demi memriotitaskan hubungan dengan Tuhannya (membela Tuhan), sah-sah saja menganiaya orang lain yang tidak seiman.
Karena itu etika yang diajarkan oleh oleh para filsuf Etika sejak zaman Trio-SPA sampai Ki Hajar Dewantara sebagian besar menyangkut hubungan antar manusia saja, bukan hubungan dengan Tuhan. Karena itu, sesuai dengan premis awal di tulisan ini, belajar etika yang terbaik adalah di lingkungan sendiri, bahkan di rumah sendiri.
Sistematika pembahasan
Masalah etika terkait dengan cara berfikir (way of thought) manausia pada umum. Jika cara berfikir sese’orang berbeda,keseluruhan pengalaman hidupnya akan berbeda, tetapi juga memiliki fikiran, perasaan, sikap, dan keinginan berbeda. Oleh karena pertimbangan inilah, “tidakan etis” manausia tidak dapat dipisahkan dengan cra berfikirnya. Terdapat semacam hubungan timbal balik antara keduanya. Cara berfikit dapat dijelaskan dan digambarkan dari pemikiran etika manusia, dan “tindakan etis” merepresentasikan atau merefplesikan cara berfikir manusia (Abdullah: 2002, h. 38).
Etika adalah bagian dari fisafat yang membahas tentang nilai, etika di defisinikan sebagai filsafat moral, atau sistematika moral (magnis suseno: 1993, Bertens: 2001). Sedangkan ilmu etika adalah

Ceritaku Bersama Buku

Waktu SMA saya termasuk anak yang rajin kesekolah tapi malas masuk ke kelas. Itu mungkin termasuk anak yang nakal. Tapi nakalnya tak terlalu kentara. Jadi setiap saya kesekolah di pagi hari semua orang percaya kalau saya ke sekolah. Nanti ketahuan kalau penerimaan raport saya mendapatkan nilai merah cukup banyak. Dan pasti saya kena marah. Tapi ada yang membuat saya senang. Setiap terima raport nilai pelajaran sejarah saya selalu baik. Ini berarti saya cukup baik mengerti kalau saya mau belajar. Ini membuat saya sedikit percaya kalau sebenarnya otakku tidak terlalu bodoh seandainya saja saya mau belajar.
Nilai sejarah itu kenapa baik? Saya setiap kali di suruh baca buku kalau malam saat waktu belajar maka yang akan segera kuambil adalah buku sejarah saya. Dan selalu saja begitu. Setiap ada kesempatan saya disuruh baca buku maka yang kubaca pasti buku sejarahku. Saya tidak tahu kenapa saya begitu senang dengan mata pelajaran satu ini.sampai-sampai saking senangnya saya baca buku sejarah ini ditangkap oleh ibu yang selalu menyuruhku belajar. Setiap saya mengambil buku dan belajar maka ibu akan bilang 'mungkin sudah kau hapalkan buku itu'.
Begitulah. Mungkin ada hubungannya bacaan saya yang baik terhadap buku sejarah dengan nilai raport saya mata pelajaran sejarah yang tidak merah. Inilah sepotong cerita saya bersama buku di saat saya masih SMA.
***

Kesan saya bersama buku pada saat-saat awal saya 'mau membaca' ini adalah potongankenangan saya bersama buku. Ini perjumpaan awal saya dengan apa yang ketika saya kuliah dianggap sesuatu yang penting. Sepenting kuliah. Ia kalau tidak kita miliki maka orang akan bilang 'berhentilah jadi mahasiswa kalau buku saja kau tak punya'. Dan kebiasaan saya membaca itu ternyata tumbuh saat saya masuk kuliah. Saat saya mulai iku`t bersama orang-orang yang aktif di organisasi kampus. Sejak itu juga saya seolah tak pernah kelihatan tidak memegang buku. Buku apa saja. Yang pasti setiap melihat saya dikampus orang akan melihat saya menenteng sebuah buku. Ini kulakukan karena terkontaminasi oleh perkataan senior 'bawa sajalah buku terus-menerus. Nanti kalau cape membawanya pasti akan dibaca juga'. Dan singkatnya saya akhirnya menjadi orang yang selalu bawa buku walaupun sebenarnya saya belum tahu isi bukunya. Saya hanya bawa. Saya hanya ingin dilihat sebagai mahasiswa yang baik, mungkin pintar. Dan ini adalah gengsi yang kita kejar di awal-awal kuliahan. Di semester-semester awal. Dan inilah yang membuat saya terus menerus membawa buku, walau buku itu sepertinya akan hancur di tanganku. Akan kusut lusuh dipegang-pegang dan sesekali dilipat dikantongi.
Lalu setelah tidak beberapa lama saya selalu memegang buku itu saya ternyata seperti yang dikatakan senior 'akhirnya akan saya baca juga buku itu kalau sudah cape memegangnya'. Dan ternyata perkataan senior itu betul. Buku itu setiap kalai saya ada waktu akan kubaca. Tapi saya belum tahu sngguh apa yang saya baca. Saya hanya membaca, mengikuti perintah tanda dan huruf yang berjejal dalam halaman dan baris-baris buku. Saya belum pernah tahu apakah yang saya baca. Apa yang saya tahu dari baca buku ini. Tapi selalu saja setiap habis buku satu maka akan kuganti buku selanjutnya yang mungkin lebih baik. Akhirnya begitu terus sampai buku itu menjadi kebuthan saya. Seperti juga makan juga minum. Setiap sehari saya tidak membaca buku saya seperti orang yang lapar ingin makan.
Dalam malam-malam saat mau tidur memang saya berjanji sendiri dalam hati kalau saya harus tidur diantar oleh buku. Dan akahirnya betul ini menjadi kebiasaan. Menjadi rutinitas yang seperti harus tnai setiap tiba waktunya. Seperti ritual-ritual salat lima waktu. Maka baca buku kalau boleh saya bilang adalah shalat wajib yang mesti kutunaikan setiap waktunya.
Kebutuhan saya akan bacaan ini akhirnya terus berlanjut. Berlanjut tapi masih pada fase saya senang sama bacan tapi saya tahu apa yang saya baca belum. Saya belum pada fase sadar sepenuhnya dengan bacaan saya. Saya baru 'belajar membaca'. Yang saya tahu waktu itu saya hanya merasakan ada buku yang akan lama saya habiskan seperti buku-buku filsafat yang memang berat dan ada juga buku yang membuat saya lebih cepat menghatamkannya karena memang agak ringan, seperti buku sastra, novel-novel atau kumpulan cerpen.
Ia. Baru ini yang saya rasakan. Baru pada tahap saya tahu kalau ada buku yang berat. Ada juga buku ringan.
***

Pada tahap saya mulai menjadi pengurus pada organisasi ekstra kampus di sini saya mulai membaca buku untuk praktek-praktek membawakan materi. Untuk dipake diskusi. Untuk menutip kata-kata dalam buku itu setiap peserta diskusi bilang apa 'referensimu?'
Dan tanpa sadar kebiasaan saya membaca buku menjadikan saya sebagai mahasiswa yang sedikit bisa. Sedikit berisi dibanding mahasiswa lain yang waktunya habis di mall, café atau restauran-restauran kota. Saya mahasiswa yang sebenarnya sedikit gaul tapi entah karena apa setelah saya menjadi mahasiswa dan masuk ke organisasi ekstra saya malah menghabiskan waktu dari lorong ke lorong lainnya. Dari kost yang satu ke kost lainnya. Dari satu tempat diskusi ke tempat diskusi lainnya. Saya seperti orang haus aktualisasi. Saya mungkin pada tahap pemenuhan kebutuhan untuk aktualisasi diri.dan bentuknya adalah memperkenalkan apa yang saya baca, apa yang saya tahu. Dan setiap itu pula ada yang akan kukutip. Nama tokoh, judul buku atau teori apa. Selalu saya lakukan ini. Sampai pada tahap saya mulai ingin menuliskannya dalam catatan. Saya ingin membuat apa yang saya tahu tidak hanya seperti berlalu bersama angin. Seperti kata pepatah 'yang tertulis akan mengabadi dan yang terucap akan berlalu bersama angin'.
Saya mulai sadar itu. Sadar akan kebutuhan untuk menuliskan setiap yang saya tahu dan yang saya gelisahkan. Dan disini buku menjadi sarang inspirasi. Tempat memperoleh imajinasi tentang soal-soal yang akan saya bahas. Dan pada saat ini saya akan membuat catatan-catatan pada bukuku. Setiap ada kata yang saya anggap bagus. Setiap kalimat yang baik untuk dikutip kuambil dan kukutipkan masuk ketulisanku. Karenanya setiap bukuku ada yang bergaris bawah tulisannya, ini berarti bagian itu penting untuk diingat. Mugkin suatu saat nanti akan kukutip dalam tulisanku. Mungkin juga akan kupakai dalam diskusi-diskusi serius bersama kawan-kawan. Dan kebiasaan bersama buku yang berkembang menjadi sebuah kesadaran untuk memakainya dalam diskusi-diskusi ilmiah sampai mengutipkannya dalam tulisan-tulisan yang kelak akan diterbitkan oleh buletin-buletin kampus. Mulai dari buletin milik organisasi ekstras, milik kampus, atau milik BEM. Setiap ada yang akan terbit maka saya selalu bersedia mengisi kolom opininya. 'Siapa yang ngisi kolom opini? Saya saja yah' demikian selalu kataku kalau bertemu dengan redaktur buletin yang berencana terbit. Dan mereka akan bilang 'tulis dulu. Nanti kalau bisa dimuat akan kita usahakan dimuat'. Maka saat itu saya akan keliling ketempat-tempat yang bisa memberikan inspirasi. Bisa memberikan saya ide untuk sebuah tulisan. Karenanya jawabannya adalah: buku!
Di saat-saat inilah saya akan bergumul dengan buku degan sangat intens. Saya akan berusaha membaca kembali buku-bukuku yang lalu. Yang kira-kira berhubungan dengan yang akan saya tuliskan. Dan akan kujejali daftar isi buku-buku yang kra-kira bisa mendukung tulisan saya. Lalu kukutipkan masuk ke dalam tulisanku setiap ada yang sempat saya baca dan saya rasa relevan dengan apa yang akan saya bahas. Biasanya satu tulisanku memuat referensi narang tiga buah buku. Kalau bukuku sendiri penuh untuk memenuhi kebutuhan tulisan maka saya tidak akan cari buku lain. Tapi kalau saya merasa tulisan saya masih kekurangan asupan referensi maka saya akan mencarinya ke komunitas-komunitasku yang biasa saya bertemu dengan buku-buku serta pemikiran para pemilik buku.
Saya akan ke toko buku. Keperpustakaan. Atau kerumah teman yang kira-kira punya buku yang saya butuhkan. Atau kalau sedang ada uang maka akan kubeli ditoko buku. Tapi saat belum ada uang maka biasanya saya masuk perpustakaan lalu mencurinya utnk kubaca di rumah. Lalu akan kupakai untuk tulisan-tulisanku.
***
Setelah kebiasaanku menulis dikoran-koran kampus datang tawaran untuk menulis ke koran lokal. Koran kotaku yang cukup bergengsi. Seorang wartawan yang sering bergaul dengan kita sempat membaca tulisan saya dalam media pemenangan saya dalam persaingan memperebutkan kursi presiden mahasiswa. Dia tertarik. Dia merasa saya bisa menulis. Dan dia tawarkan 'nulis aja di tribun timur. Kalau sabtu tribun punya komitmen untuk memberikan kesempatan untuk teman-teman mahasiswa mengisi rubrik opini. Dan sejak saat itu saya mulai mencari-cari tema serta mempelajari usungan jurnalisme serta bahasa jurnalistik media ini. Saya terus diskusi untuk mencari inspirasi tulisa. Ini kulakukan lama. Lama sekali. Mungkiinkarena saya melihat ini koran yang pembacanya sudah ratusan ribu. Karena itu seleksinya pasti ketat. Inilah kadang yang membuat saya gentar untuk menuliskan sesuatu. Saya kalah sebelum pernah mengirimkan tulisanku ke koran dimaksud. Saya bunuh diri sejak dini setiap saya melihat yang menulis adalah pofessor, doktor atau orang-orang dengan gelar serta kepintaran yang diakui oleh publik.
Sampai suatu ketika saya membaca opini hari sabtu dan kulihat seorang yang kukenal mengisinya. Kawan saya dari ekstra yang lain. Saya lalu melihatnya. Mempelajarinya. Dan ketika itu juga saya merasa tulisan kaya ini saya juga bisa. Dan ini menginspirasiku untuk menuliskan kembali pikiranku. Sambil saya ke kawan ini untuk memintainya saran serta mengetahui syarat-syarat teknisnya. Sejak itu dia beri tahu. Syarat serta gaya bahasanya. Dan akhirnya satu tulisan selesai dengan syarat yang diberitahukan ke saya. Judul tulisannya terjebak kesalehan simbolik. Lama saya membawa naskah hasil print outnya. Setiap kali saya melihat sebior yang kira-kira bisa dimintai pertimbangan. Dan saya memperlihatkan tulisanku dia membacanya lalu akan bilang 'kirimkan saja dulu. Nanti kalau masuk redaksi akan diberikan saran apa yang kurang'. Karena inilah saya memberanikan diri membawa flah disk dan print out tulisanku kekantor sebuah harian.
Panjang tulisanku ini dua halaman lebih. Dan memang aturannya disini sekitar dua setengah halaman denga spasi rapat serta huruf times new roman. Dan kupenuhi semua syarat teknis itu. Saya kumpulkan keberanian dan akhirnya kubawa tulisanku ini. Setelah kubawa saya melihat-lihat koran terbitan sabtu. Ternyata setelah tiga sabtu terlewati tulisanku tidak juga muncul. Dan saya mulai merasa sepertinya tulisanku belum layak terbit. Standar redaksi masih belum saya penuhi mungkin. Dan saya pasrah. Saya harus belajar lagi mungkin. Ia. Saya sedikit merasa belum mampu. Tapi dalam perasaan yang saya bawa ini ternyata di sabtu yang keempat tulisan ini terbit. Tapi ini saya tau dari teman setelah masuk SMSnya kalau tulisanku terbit. Dan saya merasa pun ya keprcayaan diri. Say mulai tumbuh. Saya merasa ide saya diterima oleh publi. Saya merasa satu dari sedikit orang yang bisa menembus kolom opini harian ini. Dam setelah ini terbit lagi tulisanku beberapa kali. Sampai suatu saat dosenku dikampus mengomentari saya dengan 'bagus tulisanmu bos'.
Saya dialangit saat ini. Saya sedang tinggi-tingginya. Saya merasa di tengah kepercayaan diri yang luar biasa. Tapi ini ternyata tidak begitu bertahan lama karena setiap tulisanku tidak terbit saya akan merasa lagi kalau saya kayaknya sudah tidak bisa melakukannya kembali. Tapi kucoba terus menerus menulis sampai ada lagi tulisanku yang terbit.
Begitulah cerita saya bersam tulisan saya dikoran yang akan selalu merisaukan saya. Dan dibalik itu semua saya akan selalu bergelut dengan buku-buku setiap akan menyelesaikan satu tulisan.
***
Saking senangnya saya dengan buku saya selalu menyempakan diri untuk melihat gramedia setiap saya ke mall. Dan saya selalu ointens melihat perkembangan buku-buku terbaru. Walau tak semuanya bisa kubeli dan kubaca. Kesenangan saya terhadap buku ini juga berimbas pada kehidupan perasaan saya terhadap seorang perempuan. Saya akan selalu berdiskusi tentang buku yang saya baca kedia. Dan sekali waktu saya berikan buku untuk dibacanya.
Sampai sebuah catatan yang hampir setebal buku yang kubuat sekitar lima puluhan halaman sengaja hanya untuk kuberikan keseseorang yang saya serius sayang sama dia. Saya memberikannya pas pada saat hari ulang tahunnya. Sebuah catatan perkenalan dengannya berjudul catatan-catatan perkenalan tegur sapa setahun bersama rufyani pratiwi. Buku ini berisi kesan-kesan saya berjumpa dengannya. Yang saya ingat semuanya saya catatkan dalam narasi yang serupa novel ini. Dan selain tulisan itu saya selipkan sebuah esey ucapan selamat ulang tahun. Saya selipkan untuk memberikannya ucapan selamat ulang tahun.
Buku catatan ini kutuliskan karena saya terinspirasi oleh sebuah novel berjudul aku, buku dan sepotong sajak cinta yang dikarang oleh muhiddin m dahlam. Buku ini berisi cerita tentang kisah perjalanan penulisnya menjadi penulis yang disela-selanya itu ada kisah cinta dengan seorang perempuan yang pada akhirnya membuatnya kecewa. Hubungan cinbtanya yang anhe ia jalani dengan mengirimkan kekasihnya buletin yang berisi kata-kata serta pernyataan cintanya melalui tulisan serta sajak.
Ini menginspirasiku untuk memberikannya sebuah buku yang saya sendiri mengarangnya. Tapi buku itu masih buku yang belum sebuah buku resmi. Hanya sebuah catatan yang saya print out lalu kujilid.
Suatu ketika dia datang dengan teleponnya mengkonfirmasi tentang apa yang saya tulis tentang hubunganku dengan dia ada yang salah. Ada potongan cerita yang menurutnya tidak sesuai dengan apa yang dia ingat tentang kejadian yang saya catatkan. Lalu kujawab 'anggaplah ini karya sastra yang tak ada hubungannya dengan cerita kita'.
Dicatatan yang kutambahi dengan beberapa kutipan referensi dari penulis-penulis yang terkenal. Seperti Nietzhe, Ivan Illich atau pramudya. Dan isinya adalah pernyatan saya cinta padanya. Dan kuharap dia bisa menangkapnya sebagai sebuah keseriusan yang sungguh-sungguh. Itu harapanku
***
Saya dan buku ternyata sudah sangat intim. Saya seperti seorang kekasih yang setiap kali ada soal maka akan lari kepadanya. Begitulah saya juga kepada buku. Setia[p ada soala maka akan kucari jawabnya dibuku. Atau kubuat buku untuk menyelesaikan atau mengungkapkan perasaan yang menjadi soal dalam hatiku.
Buku ini seperti menjadi pacar. Sperti kekasih nan intim. Seperti sahabat. Mungkin juga kaya ibu. Dia memberiku banyak hal dari hubungan diam-diam ini. Bahkan ketika saya jatuh hati pada seorang perempuan, buku membantuku. Ia memfasilitasiku. Buku adalah ladang insirasiku menghadapi soal-soal bahkan sampai kesoal-soal perempuan yang kutempati jatuh hati.
Ia. Beginilah ceritaku bersama buku. Sampai pada soal-soal yang sangat intim.

Rabu, 14 Maret 2012

Pengertian Film Dokumeter

Pengertian Film Dokumenter
Film dokumenter adalah film yang mendokumentasikan kenyataan. Istilah “dokumenter” pertama digunakan dalam resensi film Moana (1926) oleh Robert Flaherty, ditulis oleh The Moviegoer, nama samaran John Grierson, di New York Sun pada tanggal 8 Februari 1926.
Di Perancis, istilah dokumenter digunakan untuk semua film non-fiksi, termasuk film mengenai perjalanan dan film pendidikan. Berdasarkan definisi ini, film-film pertama semua adalah film dokumenter. Mereka merekam hal sehari-hari, misalnya kereta api masuk ke stasiun. pada dasarnya, film dokumenter merepresentasikan kenyataan. Artinya film dokumenter berarti menampilkan kembali fakta yang ada dalam kehidupan.
APA ITU FILM DOKUMENTER ??, Dokumenter sering dianggap sebagai rekaman ‘aktualitas’—potongan rekaman sewaktu kejadian sebenarnya berlangsung, saat orang yang terlibat di dalamnya berbicara, kehidupan nyata seperti apa adanya, spontan dan tanpa media perantara. Walaupun kadang menjadi materi dalam pembuatan dokumenter, faktor ini jarang menjadi bagian dari keseluruhan film dokumenter itu sendiri, karena materi-materi tersebut harus diatur, diolah kembali, dan diatur strukturnya. Terkadang bahkan dalam pengambilan gambar sebelumnya, berbagai pilihan harus diambil oleh para pembuat film dokumenter untuk menentukan sudut pandang, ukuran shot (type of shot), pencahayaan dan lain-lain agar dapat mencapai hasil akhir yang diinginkan.John Grierson pertama-tama menemukan istilah dokumenter dalam sebuah pembahasan film karya Robert Flaherty, Moana(1925), yang mengacu pada kemampuan sebuah media untuk menghasilkan dokumen visual suatu kejadian tertentu.
Grierson sangat percaya bahwa “Sinema bukanlah seni atau hiburan, melainkan suatu bentuk publikasi dan dapat dipublikasikan dengan 100 cara berbeda untuk 100 penonton yang berbeda pula.” Oleh karena itu dokumenter pun termasuk didalamnya sebagai suatu metode publikasi sinematik, yang dalam istilahnya disebut “creative treatment of actuality”(perlakuan kreatif atas keaktualitasan).
Karena ada perlakuan kreatif, sama seperti dalam film fiksi lainnya, dokumenter dibangun dan bisa dilihat bukan sebagai suatu rekaman realitas, tetapi sebagai jenis representasi lain dari realitas itu sendiri. Kebanyakan penonton dokumenter di layar kaca sudah begitu terbiasa dengan kode dan bentuk yang dominan sehingga mereka tak lagi mempertanyakan lebih jauh tentang isi dari dokumenter tersebut. Misalnya penonton sering menyaksikan dokumenter yang dipandu oleh voiceover, wawancara dari para ahli, saksi dan pendapat anggota masyarakat, set lokasi yang terlihat nyata, potongan-potongan kejadian langsung dan materi yang berasal dari arsip yang ditemukan.
Semua elemen khas tersebut memiliki sejarah dan tempat tertentu dalam perkembangan dan perluasan dokumenter sebagai sebuah bentuk sinematik.Ini penting ditekankan, karena dalam berbagai hal, bentuk dokumenter sering diabaikan dan kurang dianggap di kalangan film seni karena seakan-akan dokumenter cenderung menjadi bersifat jurnalistik dalam dunia pertelevisian. Bukti-bukti menunjukkan bahwa, bagaimanapun, dengan pesatnya perkembangan dokumenter dalam bentuk pemberitaan, terdapat perubahan. kembali ke arah pendekatan yang lebih sinematik oleh para pembuat film dokumenter akhir-akhir ini.
Dan kini perdebatannya berpindah pada segi estetik dokumenter karena ide kebenaran dan keaslian suatu dokumenter mulai dipertanyakan, diputarbalikkan dan diubah sehubungan dengan pendekatan segi estetik dokumenter dan film-film non-fiksi lainnya. Satu titik awal yang berguna adalah daftar kategori Richard Barsam yang ia sebut sebagai “film non-fiksi” Daftar ini secara efektif menunjukkan jenis-jenis film yang dipandang sebagai dokumenter dan dengan jelas memiliki ide dan kode etik tentang dokumenter yang sama.
Kategori-kategori tersebut adalah:
• Film faktual
• Film etnografik
• Film eksplorasi
• Film propaganda
• Cinéma-vérité
• Direct cinema
• Dokumenter
Film Dokumenter
Dokumenter sering dianggap sebagai rekaman dari ‘aktualitas’—potongan rekaman sewaktu kejadian sebenarnya berlangsung, saat orang yang terlibat di dalamnya berbicara, kehidupan nyata seperti apa adanya, spontan, dan tanpa media perantara. Walaupun kadang menjadi bahan ramuan utama dalam pembuatan dokumenter, unsur-unsur itu jarang menjadi bagian dari keseluruhan film dokumenter itu sendiri, karena semua bahan tersebut harus diatur, diolah kembali, dan ditata struktur penyajiannya. Terkadang, bahkan dalam pengambilan gambar sebelumnya, berbagai pilihan harus diambil oleh para pembuat film dokumenter untuk menentukan sudut pandang, ukuran shot (type of shot), pencahayaan, dan lain-lain, agar dapat mencapai hasil akhir yang mereka inginkan.
John Grierson pertama-tama menemukan istilah ‘dokumenter’ dalam suatu pembahasan mengenai film karya Robert Flaherty, Moana (1925). Dia mengacu pada kemampuan suatu media untuk menghasilkan dokumen visual tentang suatu kejadian tertentu. Dia sangat percaya bahwa “...sinema bukanlah seni atau hiburan, melainkan suatu bentuk publikasi dan dapat dipublikasikan dengan 100 cara berbeda untuk 100 penonton yang berbeda pula.” Oleh karena itu, dokumenter pun termasuk di dalamnya sebagai suatu metode publikasi sinematik yang, dalam istilah Grierson sendiri, disebut ‘perlakuan kreatif atas keaktualitasan’ (creative treatment of actuality). Karena ada perlakuan kreatif, sama seperti dalam film fiksi lainnya, dokumenter dibangun dan bisa dilihat bukan sebagai suatu rekaman realitas, tetapi sebagai jenis ‘representasi lain’ dari realitas itu sendiri.
Kebanyakan penonton film/ video dokumenter di layar kaca sudah begitu terbiasa dengan berbagai cara, gaya, dan bentuk-bentuk penyajian yang selama ini palaing banyak dan umum digunakan dalam berbagai acara siaran televisi. Sehingga, mereka tak lagi mempertanyakan lebih jauh tentang isi dari dokumenter tersebut. Misalnya, penonton sering menyaksikan dokumenter yang dipandu oleh suara (voice over) seorang penutur cerita (narator), wawancara dari para pakar, saksi-mata atas suatu kejadian, rekaman pendapat anggota masyarakat, Demikian pula dengan suasana tempat kejadian yang terlihat nyata, potongan-potongan gambar kejadiannya langsung, dan bahan-bahan yang berasal dari arsip yang ditemukan. Semua unsur khas tersebut memiliki sejarah dan tempat tertentu dalam perkembangan dan perluasan dokumenter sebagai suatu bentuk sinematik.
Ini penting ditekankan, karena --dalam berbagai hal-- bentuk dokumenter sering diabaikan dan kurang dianggap di kalangan film seni, seakan-akan dokumenter cenderung menjadi bersifat ‘pemberitaan’ (jurnalistik) dalam dunia pertelevisian. Bukti-bukti menunjukkan bahwa, bagaimanapun, dengan pesatnya perkembangan film/ video dokumenter dalam bentuk pemberitaan, ada kecenderungan kuat di kalangan para pembuat film dokumenter akhir-akhir ini untuk mengarah kembali ke arah pendekatan yang lebih sinematik. Dan, kini, perdebatannya berpindah pada segi estetik. Pengertian tentang ‘kebenaran’ dan ‘keaslian’ suatu film dokumenter mulai dipertanyakan, diputarbalikkan, dan diubah, mengacu pada pendekatan segi estetik film dokumenter dan film-film non-fiksi lainnya.
Satu titik awal yang berguna adalah daftar kategori Richard Barsam tentang apa yang dia sebut sebagai ‘film non-fiksi’. Daftar ini secara efektif menunjukkan jenis-jenis film yang dipandang sebagai dokumenter, dan dengan jelas memiliki ide dan kode etik tentang dokumenter yang sama. Kategori-kategori tersebut adalah:
• film faktual
• film etnografik
• film eksplorasi
• film propaganda
• cinéma-vérité
• direct cinema
• dokumenter

Pada dasarnya, Barsam menempatkan dokumenter sebagai suatu kategori tersendiri, karena ia mengatakan bahwa peran si pembuat film dalam menentukan interpretasi materi dalam jenis-jenis film tersebut jauh lebih khas.Perkembangan dokumenter dan genre-nya saat ini sudah sangat pesat dan beragam, tetapi ada beberapa unsur yang tetap dan penggunaannya; yakni unsur-unsur visual dan verbal yang biasa digunakan dalam dokumenter.
Unsur Visual:
• Observasionalisme reaktif; pembuatan film dokumenter dengan bahan yang sebisa mungkin diambil langsung dari subyek yang difilmkan. Hal ini berhubungan dengan ketepatan pengamatan oleh pengarah kamera atau sutradara.
• Observasionalisme proaktif; pembuatan film dokumenter dengan memilih materi film secara khusus sehubungan dengan pengamatan sebelumnya oleh pengarah kamera atau sutradara.
• Mode ilustratif; pendekatan terhadap dokumenter yang berusaha menggambarkan secara langsung tentang apa yang dikatakan oleh narator (yang direkam suaranya sebagai voice over).
• Mode asosiatif; pendekatan dalam film dokumenter yang berusaha menggunakan potongan-potongan gambar dengan berbagai cara. Dengan demikian, diharapkan arti metafora dan simbolis yang ada pada informasi harafiah dalam film itu, dapat terwakili.


• Unsur Verbal:
• Overheard exchange; rekaman pembicaraan antara dua sumber atau lebih yang terkesan direkam secara tidak sengaja dan secara langsung.
• Kesaksian; rekaman pengamatan, pendapat atau informasi, yang diungkapkan secara jujur oleh saksi mata, pakar, dan sumber lain yang berhubungan dengan subyek dokumenter. Hal ini merupakan tujuan utama dari wawancara.
• Eksposisi; penggunaan voice over atau orang yang langsung berhadapan dengan kamera, secara khusus mengarahkan penonton yang menerima informasi dan argumen-argumennya.

Teori buat film
Apa Itu Film ???? Film adalah gambar-hidup, juga sering disebut movie atau video (semula pelesetan untuk 'berpindah gambar'). Film, secara kolektif, sering disebut 'sinema'. Gambar-hidup adalah bentuk seni, bentuk populer dari hiburan, dan juga bisnis, yang diperankan oleh tokoh-tokoh sesuai karakter direkam dari benda/lensa (kamera)atau animasi.
Dasar-dasar Produksi Film Menjelaskan tahapan produksi sebuah film, deskripsi kerja dalam tim produksi, dan manajemen produksi.
Materi mencakup: Menyusun tim produksi; Menyeleksi kru (crew) dan Hal yang harus disiapkan dalam produksi film.
Penulisan dan Penyutradaraan Menjabarkan dasar-dasar penulisan cerita untuk pembuatan film, penyusunan riset untuk film dokumenter, dan penerapan pembuatan sinopsis, director treatment, shotlist, script breakdown dan shooting schedule. Materi mencakup: Penulisan, Penyutradaraan pada tahap Pra Produksi, Produksi, dan Paska Produksi.
Sinematografi

Menjelaskan tentang pengoperasian kamera dengan baik serta cara pemeliharaannya, proses perekaman yang dapat menghasilkan gambar dan suara dengan baik, dan mengasah inisiatif untuk menyesuaikan diri dengan keterbatasan alat. Materi mencakup: Dasar-dasar sinematografi, Pengenalan teknologi kamera, Teknik pengambilan gambar, Tata cahaya, dan Penataan kamera saat produksi.
Tata Suara Menguraikan dasar-dasar audio pada proses produksi film, baik yang dilakukan ketika perekaman suara saat pengambilan gambar, maupun kebutuhan pengisian suara saat pasca produksi.
Materi mencakup: Dialog, Musik, dan Efek suara
Tata Artistik Menjelaskan tugas-tugas yang harus dilakukan oleh departemen artistik dan mengaplikasikan sinopsis dan director treatment menjadi breakdown artistik.
Materi mencakup: Tata busana, Tata rias, Bagian set, Properti, dan Efek spesial Editing
Menjelaskan proses editing, teori dasar editing, pengoperasian computer untuk editing. Memberi pemahaman tentang pola pikir editing pada setiap tahap produksi film dan penerapan konsep editing (paper edit). Materi mencakup: Sekilas tentang editing, Tahapan editing, dan Istilah teknis editing.

Dokumentasi dan Dokumenter Menjelaskan dasar pengerjaan, pengelolaan dan pemanfaatan dokumentasi berdasarkan obyek dan kebutuhannya. Menjelaskan apa itu visual proposal dan kaitannya dengan pengelolaan kearifan budaya. Materi mencakup: Sekilas tentang dokumentasi dan dokumenter, Bagaimana cara kerja dokumentasi, dan Film dokumenter sebagai alat pengelolaan kearifan budaya
sekitar 6 bulan yang lalu • Laporkan

IMPLIKASI FILM DOKUMENTER TERHADAP PEMAHAMAN REALITA SOSIAL DAN BUDAYA INDONESIA SEBAGAI WAHANA PEMBELAJARAN BIPA: Pemahaman Wacana Otentik dan Kontemporer
oleh
Dewi Nastiti L.
Kantor Bahasa Provinsi NTB

I. Pengantar

Tertarik untuk mengaitkan pembelajaran BIPA dengan pengaruh film dokumenter karena penulis memiliki pandangan bahwa bahasa memiliki ruang di mana bisa berkembang secara dinamis yang perubahannya akan terlihat jelas dalam pemakaian pengguna bahasa tersebut. Indikasi seperti itu menggerakkan imajinasi untuk mencari celah pembelajaran yang kreatif dengan tidak mengindahkan esensi pembelajaran B2 mereka. Senada dengan Gianneti (Alo Liliweri, 2003:127) yang menyatakan bahwa drama dan film diakui sebagai seni untuk menyatakan pesan budaya tertentu. Dengan kata lain, drama atau film dapat mengomunikasikan nilai-nilai budaya (material dan immaterial) dari suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu kepada kelompok budaya lain. Lebih jauh, tulisan ini akan membahas mengenai urgensi komponen budaya dan hubungannya dengan film dokumenter beserta nilai-nilai yang disajikan termasuk realita sosial yang terangkum dalam rancangan film dokumenter sebagai materi otentik dan kontemporer dalam pembelajaran BIPA beserta implikasi yang diprediksikan terjadi menuju proses pemahaman.

II. Demokratisasi Bahasa
Menyoroti fakta lebih dalam, sedikit mengulas sebuah tulisan yang berkaitan dengan Demokratisasi Bahasa (M. Bundhowi, 2000:vol.1/2) yang menyinggung masalah kekinian dalam pembelajaran bahasa Indonesia untuk penutur asing dan menjurus pada fakta wacana budaya yang kontemporer dan otentik. Dalam hal ini, penulis sangat setuju dengan perubahan cara pandang berkenaan dengan demokratisasi dan pendewasaan berbagai aspek kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan budaya yang mewarnai wacana pembelajaran BIPA terutama bagi pebelajar BIPA menengah ke atas dan tuntutan bagi pengajar untuk lebih responsif dalam memaknai perubahan sehingga tidak menghadirkan sebuah konteks wacana yang semu.
Perubahan yang terjadi pada pebelajar BIPA bisa terlihat dari ketertarikan mereka terhadap aspek kehidupan Indonesia yang kontemporer sehingga tidaklah mengherankan bila mereka lebih banyak menuntut belajar bahasa Indonesia dengan wacana yang nyata atau yang ada di masyarakat umum. Ini adalah pemandangan yang sangat wajar karena informasi yang menyangkut masalah mengenai kehidupan di berbagai bidang bukanlah hal yang harus ditutup-tutupi. Tidak bisa ditawar lagi bahwa hal tersebut sudah menjadi suatu kebutuhan mereka karena mereka berada di dalam lingkungan itu.
III. Film Dokumenter sebagai Media Pembelajaran
Pemahaman berkenaan realita sosial dan budaya Indonesia sebagai wahana pembelajaran BIPA sangat penting disampaikan karena esensi dari pembelajaran bahasa sekali lagi tidak bisa mengenyampingkan lingkungan sekitar sebagai tempat tumbuh kembangnya bahasa yang baru mereka peroleh. Dalam pandangan yang sama dan sesuai dengan hipotesis Benjamin Lee Worf, lewat Worfian Hypothesis-nya, dikatakan bahwa bahasa sangat ditentukan oleh lingkungan dan pemikiran tempat si pengguna bahasa itu berada.( M. Bundhowi, 1999:Vol.I/1) Kita sudah paham bahwa perkembangan budaya dan realitas sosial Indonesia terjadi dari waktu ke waktu seiring dengan peradaban manusia karena budaya dibentuk oleh lingkungan sekitar. Untuk menampilkan budaya yang sudah berlalu, namun masih memiliki keterikatan bentuk dengan budaya sekarang, tidak bisa dipungkiri bahwa kita memerlukan suatu pendokumentasian yang kokoh. Apalagi bila dokumentasi tersebut dipakai sebagai bahan pembelajaran, tentu saja diperlukan suatu media yang dapat mengantarkan pebelajar untuk masuk ke dalam proses tersebut. Media yang penulis usulkan dalam makalah ini adalah penggunaan film dokumenter sebagai salah satu media pembelajaran BIPA.
IV. Hakikat Dokumenter
Pada dasarnya, dokumenter/realita menunjukkan persoalan-persoalan yang dipersembahkan kembali. Bill Nicholas mengatakan bahwa dokumenter dimulai dengan orang melihat dan menghargai berbagai image yang dipersembahkan atau menunjukkan masa lalu dari kejadian yang terjadi di dunia. Dokumenter memiliki cakupan dari zona yang sangat kompleks tentang representasi sebagaimana observasi kesenian, respons, dan harus dikombinasikan dengan seni untuk memberikan argumentasi. (Gatot Prakosa, 1997:125). Bila dipandang lebih jauh, teori di atas berusaha memberikan gambaran bahwa muatan dalam dokumenter tidak hanya sebatas satu sisi saja, tapi termasuk keterkaitan dengan sisi lainnya. Dapat kita katakan bahwa bila ingin mengajarkan komponen budaya secara lengkap, maka kita juga tidak bisa menepiskan realita sosial yang mengiringi budaya tersebut. Senada dengan pandangan di atas, terdapat esensi dari film dokumenter yang dapat kita cermati bersama.
The true documentary includes an element of sosial critism and implies an individual rather than a corporate point of view. Reality should be included not just the externally visible material world but also the interior worlds of those being filmed. ( Michael Rabiger, 1997: 5)
(Kebenaran film dokumenter meliputi sebuah elemen dari kritik sosial dan yang dapat mempengaruhi seseorang dibandingkan dengan menyatukan sudut pandang. Realita tidak hanya meliputi sesuatu yang bersifat material, tetapi juga menyangkut kedalaman sebuah materi yang difilmkan)
V. Urgensi Film Dokumenter dan Komponen Budaya
Dari pembahasan di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa film dokumenter tidak selalu menyajikan sorotan tentang kebudayaan yang tercermin dalam pemandangan realita pada kehidupan sehari-hari atau berkaitan dengan lingkungan hidup dan situasi nyata lainnya. Namun media ini mampu membawa pola pikir kita ke arah perubahan yang terjadi dalam realitas dan mengajak untuk mencermati lebih dalam akan makna perubahan tersebut. Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh William F. Oghburn yang mengemukakan mengenai ruang lingkup perubahan-perubahan sosial yang mencakup unsur-unsur kebudayaan baik yang materiil maupun immaterial. Selanjutnya, ditekankan bahwa perubahan sosial merujuk pada perubahan dalam mekanisme yang berkaitan dengan kemanusiaan, namun akibat perubahan sosial dan budaya yang sangat tipis perbedaannya maka setiap perubahan sosial juga mengandung makna perubahan budaya (Alo Liliweri, 2003: 217). Dengan kata lain, bila terdapat perubahan pada pandangan penutur asing setelah melihat tayangan dokumenter, seperti mereka dapat memahami bentuk realita yang terjadi di sekelilingnya, maka sudah diprediksikan bahwa mereka sudah dapat memahami perubahan budaya yang baru mereka kenal. Lebih jauh, penulis akan membawa makalah ini ke dalam persepsi yang menampilkan fakta akan pentingnya mempelajari komponen budaya dengan pentingnya muatan film dokomenter sebagai wahana yang menyajikan unsur-unsur komponen budaya di samping juga terdapat beberapa nilai sosial yang dijadikan sebagai pesan dari bangunan sebuah struktur yang merupakan pondasi dari sebuah skenario. Kedua-duanya akan menjadi jembatan bagi pebelajar BIPA dalam menumbuhkan kesadaran berbudaya dan peka terhadap realitas sosial yang berkembang di Indonesia.
Di bawah ini terdapat sebuah tabel yang mengetengahkan kesamaan pandangan tentang pentingnya komponen budaya dan sosial yang diajarkan dengan pentingnya film dokumenter yang dapat dijadikan sebagai salah satu media pembelajaran BIPA.
Urgensi Komponen Budaya dalam pembelajaran BIPA Urgensi Film Dokumenter
Kesadaran tentang budaya Indonesia bukan hanya melingkupi apa yang kasat mata (tarian, drama, adat istiadat, praktik-praktik keagamaan), namun juga melingkupi permasalahan yang tak terhingga banyaknya, misalnya konsep menghormati yang lebih tua, konsep kekeluargaan, memberi dan menerima pujian, meminta maaf, keterusterangan, kritik dan sebagainya yang semuanya bisa dibahas dengan cara menyisipkannya ke dalam catatan budaya dalam pelajaran bahasa. Dalam konteks yang lebih luas konsep tentang HAM, agama, dosa dan pahala, bahasa tubuh dsb.juga memerlukan pembahasan yang lebih luas dibandingkan dalam catatan budaya.( M. Bundhowi, 1999:Vol.I/1)
True documentary doesn’t relay value-neutral information like a textbook, it aims to give a personal, critical perspective on some aspect of the human condition. To dramatize human truths both large and small, the documentary usually depends on the traditional dramatic ingredients of characters, exposition, suspense, building tension and conflict between opposing forces, confrontation, climax, and resolution. (Michael Rabiger, 1997: 41)
• (Kebenaran dalam film dokumenter tidak selalu menyiarkan informasi secara murni seperti pada buku teks, tapi mengarah pada cara pandang beberapa aspek dari kondisi kemanusiaan. Untuk mendramatisir kebenaran baik yang luas maupun yang sempit, dokumenter biasanya tergantung pada struktur drama tradisional yang meliputi karakter, pemaparan, ketegangan, bangunan konflik di antara pertentangankekuatan, konfrontasi, klimaks, dan pemecahan masalah)

VI. Proses Pembuatan Film Dokumenter
Pembuatan film dokumenter merupakan gambaran atau cerita di balik layar. Salah satu proses yang sangat mendasar untuk dilakukan dan pada akhirnya merupakan bagian terpenting dari dokumenter, yakni adanya riset berkenaan pengumpulan data lapangan yang mencerminkan realitas sosial dan budaya pada film yang akan digarap. Pada dasarnya, proses pembuatan film ini tidak sebatas kerja sineas/pekerja film, tapi ada kolaborasi dengan pihak lain seperti peneliti atau ilmuwan yang ahli pada suatu bidang. Secara umum proses awal di atas merupakan tahapan pada praproduksi yang memuat: ide dasar, riset pengumpulan data, pencarian dan pengamatan lokasi, seleksi tokoh, pembuatan proposal, cek dan ricek (data/informasi), treatment outline, dan rancangan skenario yang memuat struktur film. Proses selanjutnya yang berkaitan dengan produksi dan pascaproduksi memang ditangani oleh sineas secara langsung.
Bentuk film dokumenter bisa fiksi maupun nonfiksi. Penyampaian dalam bentuk fiksi tentu saja akan menyajikan kesan dramatik yang menarik minat pebelajar untuk mencermati masalah yang digambarkan. Artinya, kesan dramatik yang ditampilkan bukan seolah-olah gambaran manipulasi atas realita yang terjadi. Tampilan seperti itu justru dapat membangun opini pebelajar untuk dapat memberikan kesimpulan yang sarat akan nilai-nilai sosial di samping pemaparan budaya yang menyentuh.
Dalam tulisan ini, penulis membuat rancangan berupa tampilan bahan materi berdasarkan topik yang diimplementasikan dalam beberapa judul film dokumenter yang disesuaikan dengan tipe film tersebut. Judul yang ada dalam rancangan ini merupakan produksi dari beberapa Rumah Produksi Film yang bekerja sama dengan beberapa yayasan terkait seperti Komunitas Film Dokumenter, LSM, lembaga ataupun departemen baik di dalam maupun luar negeri, dan juga institusi pendidikan. Penentuan judul yang berhubungan dengan topik dalam pembelajaran di kelas sifatnya fleksibel, tergantung dari tingkat kebutuhan pebelajar dan keefektifan dalam menyajikan film yang sesuai.
Beberapa judul film dokumenter yang dapat disajikan di kelas tentunya dengan memakai produk akhir yang sudah jadi. Film-film tersebut dapat diperoleh dari rumah produksi secara langsung atau melalui situs-situs film dokumenter dan dari beberapa program televisi. Berikut situs film yang dapat menjadi rujukan: www.in-docs.com atau alamat pos-el: indocs@cbn.net.id. Kemudian program televisi yang sudah menggarap seperti Jejak Petualang produksi TV7, Jelajah produksi Trans TV, Surat untuk Sahabat produksi Trans TV, Saksi Hidup produksi Trans TV, dan juga kompetisi yang gelar oleh salah satu TV Swasta, Metro TV yakni Program Eaggle Awards.
VII. Pemilihan Topik
Berkaitan dengan ulasan di atas yang menunjukkan riset sebagai salah satu proses awal produksi film dokumenter dengan tujuan pengumpulan data di lapangan, secara langsung mencerminkan realitas sosial dan budaya di sekeliling maka cerminan realitas sosial dan budaya tersebut akan dimasukkan ke dalam materi yang otentik dan kontemporer, dan pada akhirnya dijadikan topik dalam film dokumenter. Artinya, pemilihan topik pada film dokumenter tidak terlepas dari komponen yang ada dalam cakupan realitas. Oleh karena itu, topik yang dipilih didasarkan atas kriteria sebagai berikut.
• Berada di tengah-tengah atau di sekitar lingkungan penutur asing sehingga mereka memiliki kepekaan/sensitivitas.
• Topik yang baik adalah yang sebaiknya meliputi pengalaman kemanusiaan yang dapat dirasakan dan ada pesan yang ingin disampaikan melalui film.
• Ide bisa juga berkembang dari isu-isu penting dalam masyarakat. Bahan-bahan yang merupakan perkembangan dari ide bersifat dinamis atau berkembang dari waktu ke waktu.
Dalam makalah ini, penulis akan mengetengahkan sebuah topik berkenaan dengan lingkungan hidup yang nanti pada pembahasannya akan mengarah pada nilai penting pada film dokumenter, berupa gambaran realitas budaya Indonesia dengan kritik sosial yang membangun. Nilai penting dokumenter ini merupakan tolak ukur atau indikator pemahaman pebelajar BIPA setelah mereka mempelajari suatu wacana yang otentik dan kontemporer dalam film tersebut.
Segmentasi yang tertuang pada tipe film dokumenter dalam tabel di bawah ini baru sebagian dari beberapa tipe yang diprediksikan saat ini makin luas. Artinya masih banyak lagi tipe yang beragam dalam film dokumenter dan nantinya bisa dijadikan pemerkayaan bahan dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Berikut rancangan film dokumenter yang dapat digunakan sebagai salah satu wahana pembelajaran BIPA.


Tipe Film Dokumenter Definisi Judul Film Dokumenter Topik Nilai Penting Dokumenter
Kontradiksi Tipe kontradiksi cenderung sangat kritis dan radikal dalam memberikan gambaran informasinya. Oleh karena itu, tipe ini lebih banyak mengadakan wawancara untuk mendapatkan informasi lengkap mengenai opini masyarakat yang bersangkutan. Suara-suara Masyarakat Sekitar Tambang Newmont
Indonesia 2003 - Sutradara: Hafiz - Periset: P. Raja Siregar - Produser: WALHI - Durasi: 24 menit

Lingkungan Hidup• Dampak pembuangan lumpur batuan tambang (tailing) oleh perusahaan tambang Newmont asal AS di daerah Buyat Pantai, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara dan Sumbawa, NTB berkaitan dengan mata pencaharian, kesehatan, dan lingkungan
• Kesaksian masyarakat di sekitar areal tambang
• Penerapan teknologi kotor yang pastinya tidak dapat diterapkan di negara asal perusahaan tersebut.
Dreamland (Tanah Impian)
Indonesia 2002 – Sutradara: Tonny Trimarsanto – Produser: Cangkir Kopi – Durasi: 30 menit.
Excellence Prize at Earth Vision – Global Environmental Film Festival 2004, Tokyo Lingkungan Hidup• Kesaksian penduduk di Porsea dan Danau Toba sejak PT Inti Indorayon Utama beroperasi berkaitan dengan teror, kekerasan dan pembunuhan selama kurang lebih 10 tahun.
• Gambaran konflik sumber daya alam berkenaan dengan efek buruk bagi lingkungan yang terkontaminasi.

RANCANGAN FILM DOKUMENTER SEBAGAI MUATAN MATERI OTENTIK DAN KONTEMPORER

Dalam rancangan film di atas, tipe dokumenter yang diketengahkan berupa kontradiksi, cenderung sangat kritis dan radikal dalam memberi gambaran informasinya. Terlebih adanya wawancara dalam film tersebut dalam menjaring informasi lengkap mengenai opini masyarakat. Selama ini, para pebelajar pemula yang sudah mendapatkan pembelajaran mengenai komponen budaya dimungkinkan baru mengetahui tentang budaya yang tertuang dalam catatan budaya saja. Namun setelah mereka naik ke tingkat, proses pengenalan budaya dan pemahaman realita menjadi luas dan kompleks serta adanya bentuk kontradiksi dalam realita dapat menjadi sebuah wacana baru bagi mereka.
VIII. Prediksi Implikasi Film Dokumenter
Ada sebuah teori yang layak untuk dibahas berkaitan dengan prediksi implikasi film dokumenter menuju proses pemahaman adalah terdapat bentuk pengakuan dari pemirsa setelah melihat tayangan film dokumenter, yakni dapat menerima ketika mereka menonton film tersebut sebagai kenyataan baru yang sangat kompleks, bahkan terlihat pula dalam bentuk semi visible yang bercampur dengan kenyataan sejarah dan mungkin memiliki penyimpangan-penyimpangan yang terkonstruksi di dalamnya. (Gatot Prakosa, 1997:126). Jadi, pengaruh film dokumenter terhadap pemahaman realita sosial dan budaya Indonesia dapat diprediksikan terjadi, terkait dengan proses keberterimaan pemirsa yang pada hal ini adalah penutur asing yang memiliki perbedaan budaya. Dari teori di atas, dapat dilihat bahwa terdapat bentuk kriteria yang menjadi parameter dalam film dokumenter yakni adanya kenyataan baru yang sangat kompleks dan di dalamnya terdapat bentuk penyimpangan atau kontradiksi yang dapat menggugah pemikiran awal pebelajar saat dikenalkan berarti diasumsikan mereka sudah paham akan bentuk perubahan yang ditampilkan dalam tayangan tersebut.

Maksud bentuk kompleks dari sebuah dokumenter, ditegaskan sebelumnya berasal dari definisi secara harfiah, yang memiliki cakupan tentang representasi sebagaimana observasi pada sebuah objek, kemudian diteruskan dengan adanya respon dan harus dikombinasikan dengan objek tersebut untuk memberikan nuansa interpretasi atau memberi argumentasi. Zona kompleks yang terdapat dalam kedua film tersebut, memberikan interpretasi dari sebuah realita yang tidak hanya mengedepankan visualisasi berupa objek sebagai satu-satunya muatan, namun terdapat sisi lain berupa bentuk yang kontradiktif dalam memahami realita tersebut. Di sini, opini publik berupa kesaksian masyarakat tergambar jelas dalam film tersebut dan dapat mempertegas tampilan sebuah wacana sehingga nilai dokumenter yang didapat oleh pebelajar BIPA benar-benar mengedepankan nilai faktual yang sebenarnya.
Artinya, penekanan proses keberterimaan sebuah tayangan yang berisi kenyataan baru dalam dokumenter sangatlah kompleks karena terkait dengan jalinan struktur yang dimulai dari pengenalan objek yang terus mengarah pada konflik dan terangkai dalam sebuah klimaks sampai memunculkan pro dan kontra dalam memahami perubahan pada sebuah realita. Bagian tengah ini, merupakan sebuah wacana pola pikir yang berkenaan dengan interpretasi dan argumentasi. Bentuk penyelesaian konflik dapat terangkum dalam sebuah resolusi dan merupakan suatu penyelesaian akhir dari struktur dokumenter yang dapat menjawab permasalahan dengan menggunakan sebuah pesan atau sekedar opini yang masih membutuhkan penyelesaian akhir yang matang.
Penggambaran tentang film “Suara-suara Masyarakat Sekitar Tambang Newmont Indonesia” memperlihatkan mengenai dampak pembuangan lumpur batuan tambang (tailing) oleh perusahaan tambang Newmont asal AS di daerah Buyat Pantai, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Di pantai Buyat, sejak 1996, setiap harinya dibuang 2000 ton limbah tailing ke dasar laut. Sejak pembuangan limbah yang mengandung bahan-bahan kimia tersebut, mata pencaharian nelayan dan kesehatan masyarakat terganggu. Terumbu karang tertutup lumpur, ikan-ikan menghilang, anak-anak menderita penyakit kulit, serta terdapat benjolan di kulit dan radang. Film ini juga mengambil cuplikan kesaksian masyarakat di sekitar tambang Newmont di Batu Hijau, pulau Sumbawa, NTB. Setiap harinya 110.000 ton lumpur tailing dibuang ke dasar laut. Sementara pada film “Dreamland atau Tanah Impian” memperlihatkan kesaksian penduduk di Porsea dan Danau Toba sejak PT Inti Indorayon Utama beroperasi. Di sana terdapat banyak luka yang tidak pernah akan menjadi berita publik. Masyarakat mengalami teror, kekerasan, dan pembunuhan selama kurang lebih 10 tahun. Selain itu, terdapat juga efek buruk bagi lingkungan, seperti tinggi air di Danau Toba yang berkurang sekitar 80 cm tiap tahunnya, sungai Asahan terkontaminasi, muncul bau tidak sedap, awan panas dan gagalnya panen. Inilah nilai-nilai penting dalam film dokumenter yang harus disampaikan pada para pebelajar.
Kesamaan pandangan mengenai proses keberterimaan dalam suatu kenyataan baru atau lebih jauh berkenaan dengan budaya juga tercermin dalam ulasan lain yang menegaskan bahwa terdapat suatu tahapan akhir dalam rangkaian proses penyesuaian dalam kebudayaan baru. Tahap ini merupakan suatu tolak ukur bahwa pebelajar sudah memahami budaya baru tersebut, yakni ketika mereka berada pada tahap penerimaan dan bisa menggabungkan budaya baru dalam kehidupan mereka. (Deena R. Levine and Mara B. Adelman. 1982:1999). Artinya proses penyesuaian sudah berakhir dan budaya baru dapat mereka terima sebagai bagian dari kehidupan mereka.
Kedua teori di atas, dapat dijadikan kecenderungan implikasi yang diprediksikan terjadi, yakni berubahnya pola pikir pebelajar setelah menyaksikan tayangan dokumenter, tentunya dengan pembahasan yang dapat menggiring untuk merespon banyak hal yang berada di sekitar mereka. Dalam hal ini, implikasi yang diharapkan terjadi pada pebelajar BIPA dapat tergambar dari pendapat yang disampaikan dalam diskusi bila sudah menyentuh berkenaan dengan nilai penting dalam film tersebut. Artinya, mereka sudah mulai memiliki kesadaran berbudaya dan peka terhadap keadaan sosial yang berkembang meskipun masih dalam rangkaian proses panjang. Keyakinan penulis untuk menerapkan film dokumenter sebagai wahana pembelajaran BIPA terkait dengan implikasinya, bertambah besar setelah melihat beberapa produksi film dokumenter telah digarap oleh sineas asing. Pada salah satu sumber dijelaskan bahwa di tahun 1969 sejak kantor berita asing sudah mulai beroperasi di Indonesia untuk memuat berbagai berita dan menyiarkan kejadian-kejadian faktual termasuk di dalamnya nilai-nilai budaya bangsa Indonesia, ada pembuat film asing yang berasal dari Australia, John Coccoft, yang mencoba menampilkan film dokumenter berjudul “Indonesia, The Substance and The Shadow” yang diproduksi oleh Career Production and Mutual Life and Citizen Assurance. Kemudian pada tahun 1970, ada pula film dari Australia, Talisman yang memproduksi tiga film tentang Bali, “Island of Gods and Demons”, “Island of Magic”, “Island of The Gods”. (Gatot Prakoso, 1997:186). Kemudian, pada tahun 2001 juga terdapat sineas yang berasal dari Belanda, Leonard Retel Helmirich yang ingin memperlihatkan Indonesia dari sisi politik dan akibat dari krisis yang ditimbulkan oleh pergolakan politik tersebut yang terangkum dalam film “The Eye of The Day”, produksi Scarabee Films Hetty Naaykens. (http://www.in-docs.com/) Fenomena di atas, merupakan salah satu bukti bahwa penutur asing yang memiliki budaya yang berbeda, secara kognitif mampu mengaplikasikan budaya dan realita sosial Indonesia dengan membuat film dokumenter. Berdasarkan analogi tersebut, tidak menutup kemungkinan bagi pebelajar BIPA untuk menggunakan film dokumenter sebagai media yang mampu mengantarkan pemahaman mereka pada realita budaya dan sosial Indonesia.
IX. Implementasi dalam Pembelajaran
Sementara itu, untuk proses kegiatan belajar selanjutnya dapat menata bentuk pemahaman pebelajar melalui rangkaian struktur film yang dikenalkan yang mengacu pada nilai-nilai dokumenter. Pada tahapan awal mereka baru mengetahui tentang keberadaan perusahaan asing berupa areal tambang Newmont yang berdiri di Minahasa dan Sumbawa serta keindahan Danau Toba di Sumatera Utara dengan sumber daya alamnya yang memukau. Pada tahap pengenalan ini, mereka belum mengetahui apa yang terjadi di sekeliling objek tersebut. Kemudian pada tahap pertengahan terjadi sebuah kontradiksi yang menghadirkan opini masyarakat di sekitar areal tambang berupa kesaksian mereka yang berkaitan dengan dampak pembuangan limbah berupa lumpur batuan tambang (tailing) yang merugikan mata pencaharian, kesehatan, dan lingkungan di sekitar areal tambang perusahaan Newmont. Sementara pada film Dreamland (Tanah Impian) mengetengahkan kesaksian masyarakat sekitar berkaitan dengan tindak kejahatan yang terjadi sejak pendirian PT Inti Indorayon Utama beroperasi dan lingkungan yang terkontaminasi. Tahap pertengahan ini merupakan klimaks dan dapat dijadikan bahan diskusi mereka untuk mencari alternatif penyelesaian tentang bagaimana opini pebelajar dalam melihat tayangan. Bentuk pertanyaan yang berkaitan dengan persamaan dan perbedaan budaya serta realitas sosial dapat dirancang untuk memancing argumen pebelajar berkaitan dengan pandangan mereka setelah mengenal kebudayaan baru yang kontradiktif tentang apakah ada kesamaan atau perbedaan dalam budaya yang ada di tayangan dokumenter dengan yang ada di negara mereka; kemudian bagaimana dan apa yang akan dilakukan bila tampilan realitas dalam tayangan tersebut merupakan realita yang ada dalam negara mereka? Jawaban pebelajar berupa argumen-argumen, nantinya dapat dijaring melalui diskusi sehingga menghasilkan sebuah opini yang nanti disamakan persepsinya dengan pesan yang disampaikan dalam film tersebut. Jadi, secara tidak langsung jalinan struktur film dokumenter di atas, sudah merupakan wahana pembelajaran dan merupakan bentuk implikasi dalam proses pemahaman budaya dan kepekaan terhadap realita sosial bagi pebelajar BIPA. Tidak menutup kemungkinan juga bagi pebelajar untuk menambah keterampilan berbahasanya, terutama pemerolehan kosakata baru melalui diskusi tersebut.

X. Penutup
Melalui penyampaian pandangan yang sederhana ini, penulis hanya dapat berbagi untuk mengembangkan suatu kegiatan pembelajaran BIPA melalui sebuah rancangan materi otentik dan kontemporer dengan sentuhan media pembelajaran berbasis audio visual, berupa film dokumenter.
XI. Referensi
Bundhowi, M..1999.“Buletin Pengajaran BIPA. Vol 1/1“ Bali: IALF
Bundhowi, M..2000.“Buletin Pengajaran BIPA. Vol 1/2“ Bali: IALF
http://www.ialf.edu/bipa/buletinpengajaranbipa.html
http://www.in-docs.com/
Imaji MM. Workshop Film Dokumenter. 2006. “Teknologi Dasar Film, Ide dan Teknologi, Gaya dalam Film Dokumenter, dan Elemen Artistik dalam Film Dokumenter”. Serang.
Liliweri, Alo. 2003. Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Levine, Deena R. and Mara B. Adelman. 1982. Beyond Language. Intercultural Communication for English as a Second Language. American Language Institute. San Diego State University. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Prakosa, Gatot. 1997. Film Pinggiran, Antologi Film Pendek, Film Eksperimental, dan Film Dokumenter.Jakarta:FFTV-IKJ dan YLP. Rabiger,Michael. 1997. Directing Documentary. Second Edition. Boston: Focal Pres

DIRECT SINEMA

DIRECT SINEMA
Film Dokumenter: Warisan Direct Cinema dan Perkembangannya Hingga Kini
________________________________________
Ditulis oleh Himawan Pratista - Ditayangkan pada 24 Maret 2010
Dalam perkembangannya, Direct Cinema terbukti sebagai kekuatan yang berpengaruh sepanjang sejarah film dokumenter. Berbagai pengembangan serta inovasi teknik serta tema bermunculan dengan motif yang makin bervariasi. Salah satu bentuk variasi dari Direct Cinema yang paling populer adalah “rockumentaries” (dokumentasi musik rock). Rockumentaries memiliki bentuk serta jenis yang beragam. Let it Be (1970) memperlihatkan grup musik legendaris The Beatles yang tengah mempersiapkan album mereka. Woodstock: Three Days of Peace & Music (1970) garapan Michael Wadleigh merupakan dokumentasi dari festival musik tiga hari di sebuah lahan pertanian yang menampilkan beberapa musisi rock papan atas. Woodstock sering dianggap sebagai film dokumenter musik terbaik sepanjang masa dan menjadi dasar berpijak bagi film-film dokumentasi sejenis berikutnya. Pada dekade mendatang, This is Spinal Tap (1984) merupakan sebuah parodi rockumentary yang terbukti paling sukses komersil pada masanya.
Tradisi Direct Cinema juga tampak pada film-film kontroversial karya Fredrick Wiseman. Film-filmnya banyak bersinggungan dengan kontrol sosial, berkait erat dengan birokrasi dan bagaimana masyarakat dibuat frustasi olehnya. Dalam film debutnya, High School (1968) memperlihatkan bagaimana para siswa berontak melawan birokrasi di sekolah mereka. Maysles Bersaudara memproduksi film “Direct Cinema” Amerika berpengaruh, Salesman (1966) yang menggambarkan seorang salesman yang gagal. Sejak era 70-an, format film dokumenter mulai berubah melalui kombinasi pendekatan Direct Cinema, kompilasi footage, narasi, serta iringan musik. Salah satu sineas yang mempelopori format kombinasi ini adalah Emile De Antonio melalui film anti perangnya, Vietnam: In the Year’s of the Pig (1969). Dalam perkembangannya format ini mendominasi gaya film dokumenter selama beberapa dekade ke depan. Munculnya format digital juga semakin memudahkan siapa pun untuk memproduksi film dokumenter. Kritik sosial dan politik, lingkungan hidup, serta keberpihakan kaum minoritas masih menjadi menu utama tema film dokumenter beberapa dekade ke depan.
Beberapa sineas dokumenter berpengaruh muncul selama periode 70-an hingga kini. Erol Morris memproduksi film-film dokumenter unik dengan tema dan subyek yang tak lazim, seperti Gates of Heaven (1978), The Thin Blue Line (1988), serta Mr. Death (2000). Barbara Kopple dikenal melalui filmnya bertema demonstasi buruh, yakni, Harlan County, USA (1976) dan American Dream (1990).
Michael Moore gemar melakukan kritik sosial dan politik melalui film-filmnya Roger and Me (1989), Bowling for Columbine (2001), Fahrenheit 9/11 (2004) serta Sicko. Kevin Rafferty dikenal melalui film-filmnya seperti The Atomic Café (1982) dan The Last Cigarettes (1999). Pendekatan eksotis Flaherty juga masih tampak dalam film peraih Oscar, March of the Penguins (2005) yang tercatat sebagai film dokumenter terlaris sepanjang masa. Selama sejarah perkembangannya, film dokumenter terbukti dapat lebih manipulatif ketimbang film-film fiksi komersil. Film dokumenter melalui penyajian dan subyektifitasnya seringkali cenderung menggiring kita untuk memihak. Masalah etika dan moral selalu dipertanyakan. Sineas dokumenter seyogyanya tidak hanya mampu menyajikan fakta namun juga kebenaran.

Rabu, 07 Maret 2012

IPTEK Mngubah Sejarah

Banyak yang perlu dipahami terhadap dinamika Komunikasi sekarang ini, dimana perkembangan Ilmu pengetahuan khususnya tehnologi merupakaan tanda terburuk disepanjang sejarah dunia, kini menjadi sebuah percakapan mendunia ialah nuklir (bom at...om) dimana IPTEk telah mengubah sejarah dunia menjadi problema kehidupan saman modern, peranan manusia sangatlah penting terhadap kehidupan. sejak itu budaya-budaya yang dulu yang didalami nenek moyang kita kini berlahan-lahan akan sirna. kini tanggung jawab apa kita akan lakukan untuk meneruskan kehidupan, mungkin banyak hal yang kita lihat sekarang, tetapi masa depan mungkin kehidupan akan berubah...
 


penulis : Aris Achmad, S.I.Kom