Rabu, 14 Maret 2012

Pengertian Film Dokumeter

Pengertian Film Dokumenter
Film dokumenter adalah film yang mendokumentasikan kenyataan. Istilah “dokumenter” pertama digunakan dalam resensi film Moana (1926) oleh Robert Flaherty, ditulis oleh The Moviegoer, nama samaran John Grierson, di New York Sun pada tanggal 8 Februari 1926.
Di Perancis, istilah dokumenter digunakan untuk semua film non-fiksi, termasuk film mengenai perjalanan dan film pendidikan. Berdasarkan definisi ini, film-film pertama semua adalah film dokumenter. Mereka merekam hal sehari-hari, misalnya kereta api masuk ke stasiun. pada dasarnya, film dokumenter merepresentasikan kenyataan. Artinya film dokumenter berarti menampilkan kembali fakta yang ada dalam kehidupan.
APA ITU FILM DOKUMENTER ??, Dokumenter sering dianggap sebagai rekaman ‘aktualitas’—potongan rekaman sewaktu kejadian sebenarnya berlangsung, saat orang yang terlibat di dalamnya berbicara, kehidupan nyata seperti apa adanya, spontan dan tanpa media perantara. Walaupun kadang menjadi materi dalam pembuatan dokumenter, faktor ini jarang menjadi bagian dari keseluruhan film dokumenter itu sendiri, karena materi-materi tersebut harus diatur, diolah kembali, dan diatur strukturnya. Terkadang bahkan dalam pengambilan gambar sebelumnya, berbagai pilihan harus diambil oleh para pembuat film dokumenter untuk menentukan sudut pandang, ukuran shot (type of shot), pencahayaan dan lain-lain agar dapat mencapai hasil akhir yang diinginkan.John Grierson pertama-tama menemukan istilah dokumenter dalam sebuah pembahasan film karya Robert Flaherty, Moana(1925), yang mengacu pada kemampuan sebuah media untuk menghasilkan dokumen visual suatu kejadian tertentu.
Grierson sangat percaya bahwa “Sinema bukanlah seni atau hiburan, melainkan suatu bentuk publikasi dan dapat dipublikasikan dengan 100 cara berbeda untuk 100 penonton yang berbeda pula.” Oleh karena itu dokumenter pun termasuk didalamnya sebagai suatu metode publikasi sinematik, yang dalam istilahnya disebut “creative treatment of actuality”(perlakuan kreatif atas keaktualitasan).
Karena ada perlakuan kreatif, sama seperti dalam film fiksi lainnya, dokumenter dibangun dan bisa dilihat bukan sebagai suatu rekaman realitas, tetapi sebagai jenis representasi lain dari realitas itu sendiri. Kebanyakan penonton dokumenter di layar kaca sudah begitu terbiasa dengan kode dan bentuk yang dominan sehingga mereka tak lagi mempertanyakan lebih jauh tentang isi dari dokumenter tersebut. Misalnya penonton sering menyaksikan dokumenter yang dipandu oleh voiceover, wawancara dari para ahli, saksi dan pendapat anggota masyarakat, set lokasi yang terlihat nyata, potongan-potongan kejadian langsung dan materi yang berasal dari arsip yang ditemukan.
Semua elemen khas tersebut memiliki sejarah dan tempat tertentu dalam perkembangan dan perluasan dokumenter sebagai sebuah bentuk sinematik.Ini penting ditekankan, karena dalam berbagai hal, bentuk dokumenter sering diabaikan dan kurang dianggap di kalangan film seni karena seakan-akan dokumenter cenderung menjadi bersifat jurnalistik dalam dunia pertelevisian. Bukti-bukti menunjukkan bahwa, bagaimanapun, dengan pesatnya perkembangan dokumenter dalam bentuk pemberitaan, terdapat perubahan. kembali ke arah pendekatan yang lebih sinematik oleh para pembuat film dokumenter akhir-akhir ini.
Dan kini perdebatannya berpindah pada segi estetik dokumenter karena ide kebenaran dan keaslian suatu dokumenter mulai dipertanyakan, diputarbalikkan dan diubah sehubungan dengan pendekatan segi estetik dokumenter dan film-film non-fiksi lainnya. Satu titik awal yang berguna adalah daftar kategori Richard Barsam yang ia sebut sebagai “film non-fiksi” Daftar ini secara efektif menunjukkan jenis-jenis film yang dipandang sebagai dokumenter dan dengan jelas memiliki ide dan kode etik tentang dokumenter yang sama.
Kategori-kategori tersebut adalah:
• Film faktual
• Film etnografik
• Film eksplorasi
• Film propaganda
• Cinéma-vérité
• Direct cinema
• Dokumenter
Film Dokumenter
Dokumenter sering dianggap sebagai rekaman dari ‘aktualitas’—potongan rekaman sewaktu kejadian sebenarnya berlangsung, saat orang yang terlibat di dalamnya berbicara, kehidupan nyata seperti apa adanya, spontan, dan tanpa media perantara. Walaupun kadang menjadi bahan ramuan utama dalam pembuatan dokumenter, unsur-unsur itu jarang menjadi bagian dari keseluruhan film dokumenter itu sendiri, karena semua bahan tersebut harus diatur, diolah kembali, dan ditata struktur penyajiannya. Terkadang, bahkan dalam pengambilan gambar sebelumnya, berbagai pilihan harus diambil oleh para pembuat film dokumenter untuk menentukan sudut pandang, ukuran shot (type of shot), pencahayaan, dan lain-lain, agar dapat mencapai hasil akhir yang mereka inginkan.
John Grierson pertama-tama menemukan istilah ‘dokumenter’ dalam suatu pembahasan mengenai film karya Robert Flaherty, Moana (1925). Dia mengacu pada kemampuan suatu media untuk menghasilkan dokumen visual tentang suatu kejadian tertentu. Dia sangat percaya bahwa “...sinema bukanlah seni atau hiburan, melainkan suatu bentuk publikasi dan dapat dipublikasikan dengan 100 cara berbeda untuk 100 penonton yang berbeda pula.” Oleh karena itu, dokumenter pun termasuk di dalamnya sebagai suatu metode publikasi sinematik yang, dalam istilah Grierson sendiri, disebut ‘perlakuan kreatif atas keaktualitasan’ (creative treatment of actuality). Karena ada perlakuan kreatif, sama seperti dalam film fiksi lainnya, dokumenter dibangun dan bisa dilihat bukan sebagai suatu rekaman realitas, tetapi sebagai jenis ‘representasi lain’ dari realitas itu sendiri.
Kebanyakan penonton film/ video dokumenter di layar kaca sudah begitu terbiasa dengan berbagai cara, gaya, dan bentuk-bentuk penyajian yang selama ini palaing banyak dan umum digunakan dalam berbagai acara siaran televisi. Sehingga, mereka tak lagi mempertanyakan lebih jauh tentang isi dari dokumenter tersebut. Misalnya, penonton sering menyaksikan dokumenter yang dipandu oleh suara (voice over) seorang penutur cerita (narator), wawancara dari para pakar, saksi-mata atas suatu kejadian, rekaman pendapat anggota masyarakat, Demikian pula dengan suasana tempat kejadian yang terlihat nyata, potongan-potongan gambar kejadiannya langsung, dan bahan-bahan yang berasal dari arsip yang ditemukan. Semua unsur khas tersebut memiliki sejarah dan tempat tertentu dalam perkembangan dan perluasan dokumenter sebagai suatu bentuk sinematik.
Ini penting ditekankan, karena --dalam berbagai hal-- bentuk dokumenter sering diabaikan dan kurang dianggap di kalangan film seni, seakan-akan dokumenter cenderung menjadi bersifat ‘pemberitaan’ (jurnalistik) dalam dunia pertelevisian. Bukti-bukti menunjukkan bahwa, bagaimanapun, dengan pesatnya perkembangan film/ video dokumenter dalam bentuk pemberitaan, ada kecenderungan kuat di kalangan para pembuat film dokumenter akhir-akhir ini untuk mengarah kembali ke arah pendekatan yang lebih sinematik. Dan, kini, perdebatannya berpindah pada segi estetik. Pengertian tentang ‘kebenaran’ dan ‘keaslian’ suatu film dokumenter mulai dipertanyakan, diputarbalikkan, dan diubah, mengacu pada pendekatan segi estetik film dokumenter dan film-film non-fiksi lainnya.
Satu titik awal yang berguna adalah daftar kategori Richard Barsam tentang apa yang dia sebut sebagai ‘film non-fiksi’. Daftar ini secara efektif menunjukkan jenis-jenis film yang dipandang sebagai dokumenter, dan dengan jelas memiliki ide dan kode etik tentang dokumenter yang sama. Kategori-kategori tersebut adalah:
• film faktual
• film etnografik
• film eksplorasi
• film propaganda
• cinéma-vérité
• direct cinema
• dokumenter

Pada dasarnya, Barsam menempatkan dokumenter sebagai suatu kategori tersendiri, karena ia mengatakan bahwa peran si pembuat film dalam menentukan interpretasi materi dalam jenis-jenis film tersebut jauh lebih khas.Perkembangan dokumenter dan genre-nya saat ini sudah sangat pesat dan beragam, tetapi ada beberapa unsur yang tetap dan penggunaannya; yakni unsur-unsur visual dan verbal yang biasa digunakan dalam dokumenter.
Unsur Visual:
• Observasionalisme reaktif; pembuatan film dokumenter dengan bahan yang sebisa mungkin diambil langsung dari subyek yang difilmkan. Hal ini berhubungan dengan ketepatan pengamatan oleh pengarah kamera atau sutradara.
• Observasionalisme proaktif; pembuatan film dokumenter dengan memilih materi film secara khusus sehubungan dengan pengamatan sebelumnya oleh pengarah kamera atau sutradara.
• Mode ilustratif; pendekatan terhadap dokumenter yang berusaha menggambarkan secara langsung tentang apa yang dikatakan oleh narator (yang direkam suaranya sebagai voice over).
• Mode asosiatif; pendekatan dalam film dokumenter yang berusaha menggunakan potongan-potongan gambar dengan berbagai cara. Dengan demikian, diharapkan arti metafora dan simbolis yang ada pada informasi harafiah dalam film itu, dapat terwakili.


• Unsur Verbal:
• Overheard exchange; rekaman pembicaraan antara dua sumber atau lebih yang terkesan direkam secara tidak sengaja dan secara langsung.
• Kesaksian; rekaman pengamatan, pendapat atau informasi, yang diungkapkan secara jujur oleh saksi mata, pakar, dan sumber lain yang berhubungan dengan subyek dokumenter. Hal ini merupakan tujuan utama dari wawancara.
• Eksposisi; penggunaan voice over atau orang yang langsung berhadapan dengan kamera, secara khusus mengarahkan penonton yang menerima informasi dan argumen-argumennya.

Teori buat film
Apa Itu Film ???? Film adalah gambar-hidup, juga sering disebut movie atau video (semula pelesetan untuk 'berpindah gambar'). Film, secara kolektif, sering disebut 'sinema'. Gambar-hidup adalah bentuk seni, bentuk populer dari hiburan, dan juga bisnis, yang diperankan oleh tokoh-tokoh sesuai karakter direkam dari benda/lensa (kamera)atau animasi.
Dasar-dasar Produksi Film Menjelaskan tahapan produksi sebuah film, deskripsi kerja dalam tim produksi, dan manajemen produksi.
Materi mencakup: Menyusun tim produksi; Menyeleksi kru (crew) dan Hal yang harus disiapkan dalam produksi film.
Penulisan dan Penyutradaraan Menjabarkan dasar-dasar penulisan cerita untuk pembuatan film, penyusunan riset untuk film dokumenter, dan penerapan pembuatan sinopsis, director treatment, shotlist, script breakdown dan shooting schedule. Materi mencakup: Penulisan, Penyutradaraan pada tahap Pra Produksi, Produksi, dan Paska Produksi.
Sinematografi

Menjelaskan tentang pengoperasian kamera dengan baik serta cara pemeliharaannya, proses perekaman yang dapat menghasilkan gambar dan suara dengan baik, dan mengasah inisiatif untuk menyesuaikan diri dengan keterbatasan alat. Materi mencakup: Dasar-dasar sinematografi, Pengenalan teknologi kamera, Teknik pengambilan gambar, Tata cahaya, dan Penataan kamera saat produksi.
Tata Suara Menguraikan dasar-dasar audio pada proses produksi film, baik yang dilakukan ketika perekaman suara saat pengambilan gambar, maupun kebutuhan pengisian suara saat pasca produksi.
Materi mencakup: Dialog, Musik, dan Efek suara
Tata Artistik Menjelaskan tugas-tugas yang harus dilakukan oleh departemen artistik dan mengaplikasikan sinopsis dan director treatment menjadi breakdown artistik.
Materi mencakup: Tata busana, Tata rias, Bagian set, Properti, dan Efek spesial Editing
Menjelaskan proses editing, teori dasar editing, pengoperasian computer untuk editing. Memberi pemahaman tentang pola pikir editing pada setiap tahap produksi film dan penerapan konsep editing (paper edit). Materi mencakup: Sekilas tentang editing, Tahapan editing, dan Istilah teknis editing.

Dokumentasi dan Dokumenter Menjelaskan dasar pengerjaan, pengelolaan dan pemanfaatan dokumentasi berdasarkan obyek dan kebutuhannya. Menjelaskan apa itu visual proposal dan kaitannya dengan pengelolaan kearifan budaya. Materi mencakup: Sekilas tentang dokumentasi dan dokumenter, Bagaimana cara kerja dokumentasi, dan Film dokumenter sebagai alat pengelolaan kearifan budaya
sekitar 6 bulan yang lalu • Laporkan

IMPLIKASI FILM DOKUMENTER TERHADAP PEMAHAMAN REALITA SOSIAL DAN BUDAYA INDONESIA SEBAGAI WAHANA PEMBELAJARAN BIPA: Pemahaman Wacana Otentik dan Kontemporer
oleh
Dewi Nastiti L.
Kantor Bahasa Provinsi NTB

I. Pengantar

Tertarik untuk mengaitkan pembelajaran BIPA dengan pengaruh film dokumenter karena penulis memiliki pandangan bahwa bahasa memiliki ruang di mana bisa berkembang secara dinamis yang perubahannya akan terlihat jelas dalam pemakaian pengguna bahasa tersebut. Indikasi seperti itu menggerakkan imajinasi untuk mencari celah pembelajaran yang kreatif dengan tidak mengindahkan esensi pembelajaran B2 mereka. Senada dengan Gianneti (Alo Liliweri, 2003:127) yang menyatakan bahwa drama dan film diakui sebagai seni untuk menyatakan pesan budaya tertentu. Dengan kata lain, drama atau film dapat mengomunikasikan nilai-nilai budaya (material dan immaterial) dari suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu kepada kelompok budaya lain. Lebih jauh, tulisan ini akan membahas mengenai urgensi komponen budaya dan hubungannya dengan film dokumenter beserta nilai-nilai yang disajikan termasuk realita sosial yang terangkum dalam rancangan film dokumenter sebagai materi otentik dan kontemporer dalam pembelajaran BIPA beserta implikasi yang diprediksikan terjadi menuju proses pemahaman.

II. Demokratisasi Bahasa
Menyoroti fakta lebih dalam, sedikit mengulas sebuah tulisan yang berkaitan dengan Demokratisasi Bahasa (M. Bundhowi, 2000:vol.1/2) yang menyinggung masalah kekinian dalam pembelajaran bahasa Indonesia untuk penutur asing dan menjurus pada fakta wacana budaya yang kontemporer dan otentik. Dalam hal ini, penulis sangat setuju dengan perubahan cara pandang berkenaan dengan demokratisasi dan pendewasaan berbagai aspek kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan budaya yang mewarnai wacana pembelajaran BIPA terutama bagi pebelajar BIPA menengah ke atas dan tuntutan bagi pengajar untuk lebih responsif dalam memaknai perubahan sehingga tidak menghadirkan sebuah konteks wacana yang semu.
Perubahan yang terjadi pada pebelajar BIPA bisa terlihat dari ketertarikan mereka terhadap aspek kehidupan Indonesia yang kontemporer sehingga tidaklah mengherankan bila mereka lebih banyak menuntut belajar bahasa Indonesia dengan wacana yang nyata atau yang ada di masyarakat umum. Ini adalah pemandangan yang sangat wajar karena informasi yang menyangkut masalah mengenai kehidupan di berbagai bidang bukanlah hal yang harus ditutup-tutupi. Tidak bisa ditawar lagi bahwa hal tersebut sudah menjadi suatu kebutuhan mereka karena mereka berada di dalam lingkungan itu.
III. Film Dokumenter sebagai Media Pembelajaran
Pemahaman berkenaan realita sosial dan budaya Indonesia sebagai wahana pembelajaran BIPA sangat penting disampaikan karena esensi dari pembelajaran bahasa sekali lagi tidak bisa mengenyampingkan lingkungan sekitar sebagai tempat tumbuh kembangnya bahasa yang baru mereka peroleh. Dalam pandangan yang sama dan sesuai dengan hipotesis Benjamin Lee Worf, lewat Worfian Hypothesis-nya, dikatakan bahwa bahasa sangat ditentukan oleh lingkungan dan pemikiran tempat si pengguna bahasa itu berada.( M. Bundhowi, 1999:Vol.I/1) Kita sudah paham bahwa perkembangan budaya dan realitas sosial Indonesia terjadi dari waktu ke waktu seiring dengan peradaban manusia karena budaya dibentuk oleh lingkungan sekitar. Untuk menampilkan budaya yang sudah berlalu, namun masih memiliki keterikatan bentuk dengan budaya sekarang, tidak bisa dipungkiri bahwa kita memerlukan suatu pendokumentasian yang kokoh. Apalagi bila dokumentasi tersebut dipakai sebagai bahan pembelajaran, tentu saja diperlukan suatu media yang dapat mengantarkan pebelajar untuk masuk ke dalam proses tersebut. Media yang penulis usulkan dalam makalah ini adalah penggunaan film dokumenter sebagai salah satu media pembelajaran BIPA.
IV. Hakikat Dokumenter
Pada dasarnya, dokumenter/realita menunjukkan persoalan-persoalan yang dipersembahkan kembali. Bill Nicholas mengatakan bahwa dokumenter dimulai dengan orang melihat dan menghargai berbagai image yang dipersembahkan atau menunjukkan masa lalu dari kejadian yang terjadi di dunia. Dokumenter memiliki cakupan dari zona yang sangat kompleks tentang representasi sebagaimana observasi kesenian, respons, dan harus dikombinasikan dengan seni untuk memberikan argumentasi. (Gatot Prakosa, 1997:125). Bila dipandang lebih jauh, teori di atas berusaha memberikan gambaran bahwa muatan dalam dokumenter tidak hanya sebatas satu sisi saja, tapi termasuk keterkaitan dengan sisi lainnya. Dapat kita katakan bahwa bila ingin mengajarkan komponen budaya secara lengkap, maka kita juga tidak bisa menepiskan realita sosial yang mengiringi budaya tersebut. Senada dengan pandangan di atas, terdapat esensi dari film dokumenter yang dapat kita cermati bersama.
The true documentary includes an element of sosial critism and implies an individual rather than a corporate point of view. Reality should be included not just the externally visible material world but also the interior worlds of those being filmed. ( Michael Rabiger, 1997: 5)
(Kebenaran film dokumenter meliputi sebuah elemen dari kritik sosial dan yang dapat mempengaruhi seseorang dibandingkan dengan menyatukan sudut pandang. Realita tidak hanya meliputi sesuatu yang bersifat material, tetapi juga menyangkut kedalaman sebuah materi yang difilmkan)
V. Urgensi Film Dokumenter dan Komponen Budaya
Dari pembahasan di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa film dokumenter tidak selalu menyajikan sorotan tentang kebudayaan yang tercermin dalam pemandangan realita pada kehidupan sehari-hari atau berkaitan dengan lingkungan hidup dan situasi nyata lainnya. Namun media ini mampu membawa pola pikir kita ke arah perubahan yang terjadi dalam realitas dan mengajak untuk mencermati lebih dalam akan makna perubahan tersebut. Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh William F. Oghburn yang mengemukakan mengenai ruang lingkup perubahan-perubahan sosial yang mencakup unsur-unsur kebudayaan baik yang materiil maupun immaterial. Selanjutnya, ditekankan bahwa perubahan sosial merujuk pada perubahan dalam mekanisme yang berkaitan dengan kemanusiaan, namun akibat perubahan sosial dan budaya yang sangat tipis perbedaannya maka setiap perubahan sosial juga mengandung makna perubahan budaya (Alo Liliweri, 2003: 217). Dengan kata lain, bila terdapat perubahan pada pandangan penutur asing setelah melihat tayangan dokumenter, seperti mereka dapat memahami bentuk realita yang terjadi di sekelilingnya, maka sudah diprediksikan bahwa mereka sudah dapat memahami perubahan budaya yang baru mereka kenal. Lebih jauh, penulis akan membawa makalah ini ke dalam persepsi yang menampilkan fakta akan pentingnya mempelajari komponen budaya dengan pentingnya muatan film dokomenter sebagai wahana yang menyajikan unsur-unsur komponen budaya di samping juga terdapat beberapa nilai sosial yang dijadikan sebagai pesan dari bangunan sebuah struktur yang merupakan pondasi dari sebuah skenario. Kedua-duanya akan menjadi jembatan bagi pebelajar BIPA dalam menumbuhkan kesadaran berbudaya dan peka terhadap realitas sosial yang berkembang di Indonesia.
Di bawah ini terdapat sebuah tabel yang mengetengahkan kesamaan pandangan tentang pentingnya komponen budaya dan sosial yang diajarkan dengan pentingnya film dokumenter yang dapat dijadikan sebagai salah satu media pembelajaran BIPA.
Urgensi Komponen Budaya dalam pembelajaran BIPA Urgensi Film Dokumenter
Kesadaran tentang budaya Indonesia bukan hanya melingkupi apa yang kasat mata (tarian, drama, adat istiadat, praktik-praktik keagamaan), namun juga melingkupi permasalahan yang tak terhingga banyaknya, misalnya konsep menghormati yang lebih tua, konsep kekeluargaan, memberi dan menerima pujian, meminta maaf, keterusterangan, kritik dan sebagainya yang semuanya bisa dibahas dengan cara menyisipkannya ke dalam catatan budaya dalam pelajaran bahasa. Dalam konteks yang lebih luas konsep tentang HAM, agama, dosa dan pahala, bahasa tubuh dsb.juga memerlukan pembahasan yang lebih luas dibandingkan dalam catatan budaya.( M. Bundhowi, 1999:Vol.I/1)
True documentary doesn’t relay value-neutral information like a textbook, it aims to give a personal, critical perspective on some aspect of the human condition. To dramatize human truths both large and small, the documentary usually depends on the traditional dramatic ingredients of characters, exposition, suspense, building tension and conflict between opposing forces, confrontation, climax, and resolution. (Michael Rabiger, 1997: 41)
• (Kebenaran dalam film dokumenter tidak selalu menyiarkan informasi secara murni seperti pada buku teks, tapi mengarah pada cara pandang beberapa aspek dari kondisi kemanusiaan. Untuk mendramatisir kebenaran baik yang luas maupun yang sempit, dokumenter biasanya tergantung pada struktur drama tradisional yang meliputi karakter, pemaparan, ketegangan, bangunan konflik di antara pertentangankekuatan, konfrontasi, klimaks, dan pemecahan masalah)

VI. Proses Pembuatan Film Dokumenter
Pembuatan film dokumenter merupakan gambaran atau cerita di balik layar. Salah satu proses yang sangat mendasar untuk dilakukan dan pada akhirnya merupakan bagian terpenting dari dokumenter, yakni adanya riset berkenaan pengumpulan data lapangan yang mencerminkan realitas sosial dan budaya pada film yang akan digarap. Pada dasarnya, proses pembuatan film ini tidak sebatas kerja sineas/pekerja film, tapi ada kolaborasi dengan pihak lain seperti peneliti atau ilmuwan yang ahli pada suatu bidang. Secara umum proses awal di atas merupakan tahapan pada praproduksi yang memuat: ide dasar, riset pengumpulan data, pencarian dan pengamatan lokasi, seleksi tokoh, pembuatan proposal, cek dan ricek (data/informasi), treatment outline, dan rancangan skenario yang memuat struktur film. Proses selanjutnya yang berkaitan dengan produksi dan pascaproduksi memang ditangani oleh sineas secara langsung.
Bentuk film dokumenter bisa fiksi maupun nonfiksi. Penyampaian dalam bentuk fiksi tentu saja akan menyajikan kesan dramatik yang menarik minat pebelajar untuk mencermati masalah yang digambarkan. Artinya, kesan dramatik yang ditampilkan bukan seolah-olah gambaran manipulasi atas realita yang terjadi. Tampilan seperti itu justru dapat membangun opini pebelajar untuk dapat memberikan kesimpulan yang sarat akan nilai-nilai sosial di samping pemaparan budaya yang menyentuh.
Dalam tulisan ini, penulis membuat rancangan berupa tampilan bahan materi berdasarkan topik yang diimplementasikan dalam beberapa judul film dokumenter yang disesuaikan dengan tipe film tersebut. Judul yang ada dalam rancangan ini merupakan produksi dari beberapa Rumah Produksi Film yang bekerja sama dengan beberapa yayasan terkait seperti Komunitas Film Dokumenter, LSM, lembaga ataupun departemen baik di dalam maupun luar negeri, dan juga institusi pendidikan. Penentuan judul yang berhubungan dengan topik dalam pembelajaran di kelas sifatnya fleksibel, tergantung dari tingkat kebutuhan pebelajar dan keefektifan dalam menyajikan film yang sesuai.
Beberapa judul film dokumenter yang dapat disajikan di kelas tentunya dengan memakai produk akhir yang sudah jadi. Film-film tersebut dapat diperoleh dari rumah produksi secara langsung atau melalui situs-situs film dokumenter dan dari beberapa program televisi. Berikut situs film yang dapat menjadi rujukan: www.in-docs.com atau alamat pos-el: indocs@cbn.net.id. Kemudian program televisi yang sudah menggarap seperti Jejak Petualang produksi TV7, Jelajah produksi Trans TV, Surat untuk Sahabat produksi Trans TV, Saksi Hidup produksi Trans TV, dan juga kompetisi yang gelar oleh salah satu TV Swasta, Metro TV yakni Program Eaggle Awards.
VII. Pemilihan Topik
Berkaitan dengan ulasan di atas yang menunjukkan riset sebagai salah satu proses awal produksi film dokumenter dengan tujuan pengumpulan data di lapangan, secara langsung mencerminkan realitas sosial dan budaya di sekeliling maka cerminan realitas sosial dan budaya tersebut akan dimasukkan ke dalam materi yang otentik dan kontemporer, dan pada akhirnya dijadikan topik dalam film dokumenter. Artinya, pemilihan topik pada film dokumenter tidak terlepas dari komponen yang ada dalam cakupan realitas. Oleh karena itu, topik yang dipilih didasarkan atas kriteria sebagai berikut.
• Berada di tengah-tengah atau di sekitar lingkungan penutur asing sehingga mereka memiliki kepekaan/sensitivitas.
• Topik yang baik adalah yang sebaiknya meliputi pengalaman kemanusiaan yang dapat dirasakan dan ada pesan yang ingin disampaikan melalui film.
• Ide bisa juga berkembang dari isu-isu penting dalam masyarakat. Bahan-bahan yang merupakan perkembangan dari ide bersifat dinamis atau berkembang dari waktu ke waktu.
Dalam makalah ini, penulis akan mengetengahkan sebuah topik berkenaan dengan lingkungan hidup yang nanti pada pembahasannya akan mengarah pada nilai penting pada film dokumenter, berupa gambaran realitas budaya Indonesia dengan kritik sosial yang membangun. Nilai penting dokumenter ini merupakan tolak ukur atau indikator pemahaman pebelajar BIPA setelah mereka mempelajari suatu wacana yang otentik dan kontemporer dalam film tersebut.
Segmentasi yang tertuang pada tipe film dokumenter dalam tabel di bawah ini baru sebagian dari beberapa tipe yang diprediksikan saat ini makin luas. Artinya masih banyak lagi tipe yang beragam dalam film dokumenter dan nantinya bisa dijadikan pemerkayaan bahan dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Berikut rancangan film dokumenter yang dapat digunakan sebagai salah satu wahana pembelajaran BIPA.


Tipe Film Dokumenter Definisi Judul Film Dokumenter Topik Nilai Penting Dokumenter
Kontradiksi Tipe kontradiksi cenderung sangat kritis dan radikal dalam memberikan gambaran informasinya. Oleh karena itu, tipe ini lebih banyak mengadakan wawancara untuk mendapatkan informasi lengkap mengenai opini masyarakat yang bersangkutan. Suara-suara Masyarakat Sekitar Tambang Newmont
Indonesia 2003 - Sutradara: Hafiz - Periset: P. Raja Siregar - Produser: WALHI - Durasi: 24 menit

Lingkungan Hidup• Dampak pembuangan lumpur batuan tambang (tailing) oleh perusahaan tambang Newmont asal AS di daerah Buyat Pantai, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara dan Sumbawa, NTB berkaitan dengan mata pencaharian, kesehatan, dan lingkungan
• Kesaksian masyarakat di sekitar areal tambang
• Penerapan teknologi kotor yang pastinya tidak dapat diterapkan di negara asal perusahaan tersebut.
Dreamland (Tanah Impian)
Indonesia 2002 – Sutradara: Tonny Trimarsanto – Produser: Cangkir Kopi – Durasi: 30 menit.
Excellence Prize at Earth Vision – Global Environmental Film Festival 2004, Tokyo Lingkungan Hidup• Kesaksian penduduk di Porsea dan Danau Toba sejak PT Inti Indorayon Utama beroperasi berkaitan dengan teror, kekerasan dan pembunuhan selama kurang lebih 10 tahun.
• Gambaran konflik sumber daya alam berkenaan dengan efek buruk bagi lingkungan yang terkontaminasi.

RANCANGAN FILM DOKUMENTER SEBAGAI MUATAN MATERI OTENTIK DAN KONTEMPORER

Dalam rancangan film di atas, tipe dokumenter yang diketengahkan berupa kontradiksi, cenderung sangat kritis dan radikal dalam memberi gambaran informasinya. Terlebih adanya wawancara dalam film tersebut dalam menjaring informasi lengkap mengenai opini masyarakat. Selama ini, para pebelajar pemula yang sudah mendapatkan pembelajaran mengenai komponen budaya dimungkinkan baru mengetahui tentang budaya yang tertuang dalam catatan budaya saja. Namun setelah mereka naik ke tingkat, proses pengenalan budaya dan pemahaman realita menjadi luas dan kompleks serta adanya bentuk kontradiksi dalam realita dapat menjadi sebuah wacana baru bagi mereka.
VIII. Prediksi Implikasi Film Dokumenter
Ada sebuah teori yang layak untuk dibahas berkaitan dengan prediksi implikasi film dokumenter menuju proses pemahaman adalah terdapat bentuk pengakuan dari pemirsa setelah melihat tayangan film dokumenter, yakni dapat menerima ketika mereka menonton film tersebut sebagai kenyataan baru yang sangat kompleks, bahkan terlihat pula dalam bentuk semi visible yang bercampur dengan kenyataan sejarah dan mungkin memiliki penyimpangan-penyimpangan yang terkonstruksi di dalamnya. (Gatot Prakosa, 1997:126). Jadi, pengaruh film dokumenter terhadap pemahaman realita sosial dan budaya Indonesia dapat diprediksikan terjadi, terkait dengan proses keberterimaan pemirsa yang pada hal ini adalah penutur asing yang memiliki perbedaan budaya. Dari teori di atas, dapat dilihat bahwa terdapat bentuk kriteria yang menjadi parameter dalam film dokumenter yakni adanya kenyataan baru yang sangat kompleks dan di dalamnya terdapat bentuk penyimpangan atau kontradiksi yang dapat menggugah pemikiran awal pebelajar saat dikenalkan berarti diasumsikan mereka sudah paham akan bentuk perubahan yang ditampilkan dalam tayangan tersebut.

Maksud bentuk kompleks dari sebuah dokumenter, ditegaskan sebelumnya berasal dari definisi secara harfiah, yang memiliki cakupan tentang representasi sebagaimana observasi pada sebuah objek, kemudian diteruskan dengan adanya respon dan harus dikombinasikan dengan objek tersebut untuk memberikan nuansa interpretasi atau memberi argumentasi. Zona kompleks yang terdapat dalam kedua film tersebut, memberikan interpretasi dari sebuah realita yang tidak hanya mengedepankan visualisasi berupa objek sebagai satu-satunya muatan, namun terdapat sisi lain berupa bentuk yang kontradiktif dalam memahami realita tersebut. Di sini, opini publik berupa kesaksian masyarakat tergambar jelas dalam film tersebut dan dapat mempertegas tampilan sebuah wacana sehingga nilai dokumenter yang didapat oleh pebelajar BIPA benar-benar mengedepankan nilai faktual yang sebenarnya.
Artinya, penekanan proses keberterimaan sebuah tayangan yang berisi kenyataan baru dalam dokumenter sangatlah kompleks karena terkait dengan jalinan struktur yang dimulai dari pengenalan objek yang terus mengarah pada konflik dan terangkai dalam sebuah klimaks sampai memunculkan pro dan kontra dalam memahami perubahan pada sebuah realita. Bagian tengah ini, merupakan sebuah wacana pola pikir yang berkenaan dengan interpretasi dan argumentasi. Bentuk penyelesaian konflik dapat terangkum dalam sebuah resolusi dan merupakan suatu penyelesaian akhir dari struktur dokumenter yang dapat menjawab permasalahan dengan menggunakan sebuah pesan atau sekedar opini yang masih membutuhkan penyelesaian akhir yang matang.
Penggambaran tentang film “Suara-suara Masyarakat Sekitar Tambang Newmont Indonesia” memperlihatkan mengenai dampak pembuangan lumpur batuan tambang (tailing) oleh perusahaan tambang Newmont asal AS di daerah Buyat Pantai, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Di pantai Buyat, sejak 1996, setiap harinya dibuang 2000 ton limbah tailing ke dasar laut. Sejak pembuangan limbah yang mengandung bahan-bahan kimia tersebut, mata pencaharian nelayan dan kesehatan masyarakat terganggu. Terumbu karang tertutup lumpur, ikan-ikan menghilang, anak-anak menderita penyakit kulit, serta terdapat benjolan di kulit dan radang. Film ini juga mengambil cuplikan kesaksian masyarakat di sekitar tambang Newmont di Batu Hijau, pulau Sumbawa, NTB. Setiap harinya 110.000 ton lumpur tailing dibuang ke dasar laut. Sementara pada film “Dreamland atau Tanah Impian” memperlihatkan kesaksian penduduk di Porsea dan Danau Toba sejak PT Inti Indorayon Utama beroperasi. Di sana terdapat banyak luka yang tidak pernah akan menjadi berita publik. Masyarakat mengalami teror, kekerasan, dan pembunuhan selama kurang lebih 10 tahun. Selain itu, terdapat juga efek buruk bagi lingkungan, seperti tinggi air di Danau Toba yang berkurang sekitar 80 cm tiap tahunnya, sungai Asahan terkontaminasi, muncul bau tidak sedap, awan panas dan gagalnya panen. Inilah nilai-nilai penting dalam film dokumenter yang harus disampaikan pada para pebelajar.
Kesamaan pandangan mengenai proses keberterimaan dalam suatu kenyataan baru atau lebih jauh berkenaan dengan budaya juga tercermin dalam ulasan lain yang menegaskan bahwa terdapat suatu tahapan akhir dalam rangkaian proses penyesuaian dalam kebudayaan baru. Tahap ini merupakan suatu tolak ukur bahwa pebelajar sudah memahami budaya baru tersebut, yakni ketika mereka berada pada tahap penerimaan dan bisa menggabungkan budaya baru dalam kehidupan mereka. (Deena R. Levine and Mara B. Adelman. 1982:1999). Artinya proses penyesuaian sudah berakhir dan budaya baru dapat mereka terima sebagai bagian dari kehidupan mereka.
Kedua teori di atas, dapat dijadikan kecenderungan implikasi yang diprediksikan terjadi, yakni berubahnya pola pikir pebelajar setelah menyaksikan tayangan dokumenter, tentunya dengan pembahasan yang dapat menggiring untuk merespon banyak hal yang berada di sekitar mereka. Dalam hal ini, implikasi yang diharapkan terjadi pada pebelajar BIPA dapat tergambar dari pendapat yang disampaikan dalam diskusi bila sudah menyentuh berkenaan dengan nilai penting dalam film tersebut. Artinya, mereka sudah mulai memiliki kesadaran berbudaya dan peka terhadap keadaan sosial yang berkembang meskipun masih dalam rangkaian proses panjang. Keyakinan penulis untuk menerapkan film dokumenter sebagai wahana pembelajaran BIPA terkait dengan implikasinya, bertambah besar setelah melihat beberapa produksi film dokumenter telah digarap oleh sineas asing. Pada salah satu sumber dijelaskan bahwa di tahun 1969 sejak kantor berita asing sudah mulai beroperasi di Indonesia untuk memuat berbagai berita dan menyiarkan kejadian-kejadian faktual termasuk di dalamnya nilai-nilai budaya bangsa Indonesia, ada pembuat film asing yang berasal dari Australia, John Coccoft, yang mencoba menampilkan film dokumenter berjudul “Indonesia, The Substance and The Shadow” yang diproduksi oleh Career Production and Mutual Life and Citizen Assurance. Kemudian pada tahun 1970, ada pula film dari Australia, Talisman yang memproduksi tiga film tentang Bali, “Island of Gods and Demons”, “Island of Magic”, “Island of The Gods”. (Gatot Prakoso, 1997:186). Kemudian, pada tahun 2001 juga terdapat sineas yang berasal dari Belanda, Leonard Retel Helmirich yang ingin memperlihatkan Indonesia dari sisi politik dan akibat dari krisis yang ditimbulkan oleh pergolakan politik tersebut yang terangkum dalam film “The Eye of The Day”, produksi Scarabee Films Hetty Naaykens. (http://www.in-docs.com/) Fenomena di atas, merupakan salah satu bukti bahwa penutur asing yang memiliki budaya yang berbeda, secara kognitif mampu mengaplikasikan budaya dan realita sosial Indonesia dengan membuat film dokumenter. Berdasarkan analogi tersebut, tidak menutup kemungkinan bagi pebelajar BIPA untuk menggunakan film dokumenter sebagai media yang mampu mengantarkan pemahaman mereka pada realita budaya dan sosial Indonesia.
IX. Implementasi dalam Pembelajaran
Sementara itu, untuk proses kegiatan belajar selanjutnya dapat menata bentuk pemahaman pebelajar melalui rangkaian struktur film yang dikenalkan yang mengacu pada nilai-nilai dokumenter. Pada tahapan awal mereka baru mengetahui tentang keberadaan perusahaan asing berupa areal tambang Newmont yang berdiri di Minahasa dan Sumbawa serta keindahan Danau Toba di Sumatera Utara dengan sumber daya alamnya yang memukau. Pada tahap pengenalan ini, mereka belum mengetahui apa yang terjadi di sekeliling objek tersebut. Kemudian pada tahap pertengahan terjadi sebuah kontradiksi yang menghadirkan opini masyarakat di sekitar areal tambang berupa kesaksian mereka yang berkaitan dengan dampak pembuangan limbah berupa lumpur batuan tambang (tailing) yang merugikan mata pencaharian, kesehatan, dan lingkungan di sekitar areal tambang perusahaan Newmont. Sementara pada film Dreamland (Tanah Impian) mengetengahkan kesaksian masyarakat sekitar berkaitan dengan tindak kejahatan yang terjadi sejak pendirian PT Inti Indorayon Utama beroperasi dan lingkungan yang terkontaminasi. Tahap pertengahan ini merupakan klimaks dan dapat dijadikan bahan diskusi mereka untuk mencari alternatif penyelesaian tentang bagaimana opini pebelajar dalam melihat tayangan. Bentuk pertanyaan yang berkaitan dengan persamaan dan perbedaan budaya serta realitas sosial dapat dirancang untuk memancing argumen pebelajar berkaitan dengan pandangan mereka setelah mengenal kebudayaan baru yang kontradiktif tentang apakah ada kesamaan atau perbedaan dalam budaya yang ada di tayangan dokumenter dengan yang ada di negara mereka; kemudian bagaimana dan apa yang akan dilakukan bila tampilan realitas dalam tayangan tersebut merupakan realita yang ada dalam negara mereka? Jawaban pebelajar berupa argumen-argumen, nantinya dapat dijaring melalui diskusi sehingga menghasilkan sebuah opini yang nanti disamakan persepsinya dengan pesan yang disampaikan dalam film tersebut. Jadi, secara tidak langsung jalinan struktur film dokumenter di atas, sudah merupakan wahana pembelajaran dan merupakan bentuk implikasi dalam proses pemahaman budaya dan kepekaan terhadap realita sosial bagi pebelajar BIPA. Tidak menutup kemungkinan juga bagi pebelajar untuk menambah keterampilan berbahasanya, terutama pemerolehan kosakata baru melalui diskusi tersebut.

X. Penutup
Melalui penyampaian pandangan yang sederhana ini, penulis hanya dapat berbagi untuk mengembangkan suatu kegiatan pembelajaran BIPA melalui sebuah rancangan materi otentik dan kontemporer dengan sentuhan media pembelajaran berbasis audio visual, berupa film dokumenter.
XI. Referensi
Bundhowi, M..1999.“Buletin Pengajaran BIPA. Vol 1/1“ Bali: IALF
Bundhowi, M..2000.“Buletin Pengajaran BIPA. Vol 1/2“ Bali: IALF
http://www.ialf.edu/bipa/buletinpengajaranbipa.html
http://www.in-docs.com/
Imaji MM. Workshop Film Dokumenter. 2006. “Teknologi Dasar Film, Ide dan Teknologi, Gaya dalam Film Dokumenter, dan Elemen Artistik dalam Film Dokumenter”. Serang.
Liliweri, Alo. 2003. Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Levine, Deena R. and Mara B. Adelman. 1982. Beyond Language. Intercultural Communication for English as a Second Language. American Language Institute. San Diego State University. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Prakosa, Gatot. 1997. Film Pinggiran, Antologi Film Pendek, Film Eksperimental, dan Film Dokumenter.Jakarta:FFTV-IKJ dan YLP. Rabiger,Michael. 1997. Directing Documentary. Second Edition. Boston: Focal Pres

1 komentar: