Jumat, 16 Maret 2012

Ceritaku Bersama Buku

Waktu SMA saya termasuk anak yang rajin kesekolah tapi malas masuk ke kelas. Itu mungkin termasuk anak yang nakal. Tapi nakalnya tak terlalu kentara. Jadi setiap saya kesekolah di pagi hari semua orang percaya kalau saya ke sekolah. Nanti ketahuan kalau penerimaan raport saya mendapatkan nilai merah cukup banyak. Dan pasti saya kena marah. Tapi ada yang membuat saya senang. Setiap terima raport nilai pelajaran sejarah saya selalu baik. Ini berarti saya cukup baik mengerti kalau saya mau belajar. Ini membuat saya sedikit percaya kalau sebenarnya otakku tidak terlalu bodoh seandainya saja saya mau belajar.
Nilai sejarah itu kenapa baik? Saya setiap kali di suruh baca buku kalau malam saat waktu belajar maka yang akan segera kuambil adalah buku sejarah saya. Dan selalu saja begitu. Setiap ada kesempatan saya disuruh baca buku maka yang kubaca pasti buku sejarahku. Saya tidak tahu kenapa saya begitu senang dengan mata pelajaran satu ini.sampai-sampai saking senangnya saya baca buku sejarah ini ditangkap oleh ibu yang selalu menyuruhku belajar. Setiap saya mengambil buku dan belajar maka ibu akan bilang 'mungkin sudah kau hapalkan buku itu'.
Begitulah. Mungkin ada hubungannya bacaan saya yang baik terhadap buku sejarah dengan nilai raport saya mata pelajaran sejarah yang tidak merah. Inilah sepotong cerita saya bersama buku di saat saya masih SMA.
***

Kesan saya bersama buku pada saat-saat awal saya 'mau membaca' ini adalah potongankenangan saya bersama buku. Ini perjumpaan awal saya dengan apa yang ketika saya kuliah dianggap sesuatu yang penting. Sepenting kuliah. Ia kalau tidak kita miliki maka orang akan bilang 'berhentilah jadi mahasiswa kalau buku saja kau tak punya'. Dan kebiasaan saya membaca itu ternyata tumbuh saat saya masuk kuliah. Saat saya mulai iku`t bersama orang-orang yang aktif di organisasi kampus. Sejak itu juga saya seolah tak pernah kelihatan tidak memegang buku. Buku apa saja. Yang pasti setiap melihat saya dikampus orang akan melihat saya menenteng sebuah buku. Ini kulakukan karena terkontaminasi oleh perkataan senior 'bawa sajalah buku terus-menerus. Nanti kalau cape membawanya pasti akan dibaca juga'. Dan singkatnya saya akhirnya menjadi orang yang selalu bawa buku walaupun sebenarnya saya belum tahu isi bukunya. Saya hanya bawa. Saya hanya ingin dilihat sebagai mahasiswa yang baik, mungkin pintar. Dan ini adalah gengsi yang kita kejar di awal-awal kuliahan. Di semester-semester awal. Dan inilah yang membuat saya terus menerus membawa buku, walau buku itu sepertinya akan hancur di tanganku. Akan kusut lusuh dipegang-pegang dan sesekali dilipat dikantongi.
Lalu setelah tidak beberapa lama saya selalu memegang buku itu saya ternyata seperti yang dikatakan senior 'akhirnya akan saya baca juga buku itu kalau sudah cape memegangnya'. Dan ternyata perkataan senior itu betul. Buku itu setiap kalai saya ada waktu akan kubaca. Tapi saya belum tahu sngguh apa yang saya baca. Saya hanya membaca, mengikuti perintah tanda dan huruf yang berjejal dalam halaman dan baris-baris buku. Saya belum pernah tahu apakah yang saya baca. Apa yang saya tahu dari baca buku ini. Tapi selalu saja setiap habis buku satu maka akan kuganti buku selanjutnya yang mungkin lebih baik. Akhirnya begitu terus sampai buku itu menjadi kebuthan saya. Seperti juga makan juga minum. Setiap sehari saya tidak membaca buku saya seperti orang yang lapar ingin makan.
Dalam malam-malam saat mau tidur memang saya berjanji sendiri dalam hati kalau saya harus tidur diantar oleh buku. Dan akahirnya betul ini menjadi kebiasaan. Menjadi rutinitas yang seperti harus tnai setiap tiba waktunya. Seperti ritual-ritual salat lima waktu. Maka baca buku kalau boleh saya bilang adalah shalat wajib yang mesti kutunaikan setiap waktunya.
Kebutuhan saya akan bacaan ini akhirnya terus berlanjut. Berlanjut tapi masih pada fase saya senang sama bacan tapi saya tahu apa yang saya baca belum. Saya belum pada fase sadar sepenuhnya dengan bacaan saya. Saya baru 'belajar membaca'. Yang saya tahu waktu itu saya hanya merasakan ada buku yang akan lama saya habiskan seperti buku-buku filsafat yang memang berat dan ada juga buku yang membuat saya lebih cepat menghatamkannya karena memang agak ringan, seperti buku sastra, novel-novel atau kumpulan cerpen.
Ia. Baru ini yang saya rasakan. Baru pada tahap saya tahu kalau ada buku yang berat. Ada juga buku ringan.
***

Pada tahap saya mulai menjadi pengurus pada organisasi ekstra kampus di sini saya mulai membaca buku untuk praktek-praktek membawakan materi. Untuk dipake diskusi. Untuk menutip kata-kata dalam buku itu setiap peserta diskusi bilang apa 'referensimu?'
Dan tanpa sadar kebiasaan saya membaca buku menjadikan saya sebagai mahasiswa yang sedikit bisa. Sedikit berisi dibanding mahasiswa lain yang waktunya habis di mall, café atau restauran-restauran kota. Saya mahasiswa yang sebenarnya sedikit gaul tapi entah karena apa setelah saya menjadi mahasiswa dan masuk ke organisasi ekstra saya malah menghabiskan waktu dari lorong ke lorong lainnya. Dari kost yang satu ke kost lainnya. Dari satu tempat diskusi ke tempat diskusi lainnya. Saya seperti orang haus aktualisasi. Saya mungkin pada tahap pemenuhan kebutuhan untuk aktualisasi diri.dan bentuknya adalah memperkenalkan apa yang saya baca, apa yang saya tahu. Dan setiap itu pula ada yang akan kukutip. Nama tokoh, judul buku atau teori apa. Selalu saya lakukan ini. Sampai pada tahap saya mulai ingin menuliskannya dalam catatan. Saya ingin membuat apa yang saya tahu tidak hanya seperti berlalu bersama angin. Seperti kata pepatah 'yang tertulis akan mengabadi dan yang terucap akan berlalu bersama angin'.
Saya mulai sadar itu. Sadar akan kebutuhan untuk menuliskan setiap yang saya tahu dan yang saya gelisahkan. Dan disini buku menjadi sarang inspirasi. Tempat memperoleh imajinasi tentang soal-soal yang akan saya bahas. Dan pada saat ini saya akan membuat catatan-catatan pada bukuku. Setiap ada kata yang saya anggap bagus. Setiap kalimat yang baik untuk dikutip kuambil dan kukutipkan masuk ketulisanku. Karenanya setiap bukuku ada yang bergaris bawah tulisannya, ini berarti bagian itu penting untuk diingat. Mugkin suatu saat nanti akan kukutip dalam tulisanku. Mungkin juga akan kupakai dalam diskusi-diskusi serius bersama kawan-kawan. Dan kebiasaan bersama buku yang berkembang menjadi sebuah kesadaran untuk memakainya dalam diskusi-diskusi ilmiah sampai mengutipkannya dalam tulisan-tulisan yang kelak akan diterbitkan oleh buletin-buletin kampus. Mulai dari buletin milik organisasi ekstras, milik kampus, atau milik BEM. Setiap ada yang akan terbit maka saya selalu bersedia mengisi kolom opininya. 'Siapa yang ngisi kolom opini? Saya saja yah' demikian selalu kataku kalau bertemu dengan redaktur buletin yang berencana terbit. Dan mereka akan bilang 'tulis dulu. Nanti kalau bisa dimuat akan kita usahakan dimuat'. Maka saat itu saya akan keliling ketempat-tempat yang bisa memberikan inspirasi. Bisa memberikan saya ide untuk sebuah tulisan. Karenanya jawabannya adalah: buku!
Di saat-saat inilah saya akan bergumul dengan buku degan sangat intens. Saya akan berusaha membaca kembali buku-bukuku yang lalu. Yang kira-kira berhubungan dengan yang akan saya tuliskan. Dan akan kujejali daftar isi buku-buku yang kra-kira bisa mendukung tulisan saya. Lalu kukutipkan masuk ke dalam tulisanku setiap ada yang sempat saya baca dan saya rasa relevan dengan apa yang akan saya bahas. Biasanya satu tulisanku memuat referensi narang tiga buah buku. Kalau bukuku sendiri penuh untuk memenuhi kebutuhan tulisan maka saya tidak akan cari buku lain. Tapi kalau saya merasa tulisan saya masih kekurangan asupan referensi maka saya akan mencarinya ke komunitas-komunitasku yang biasa saya bertemu dengan buku-buku serta pemikiran para pemilik buku.
Saya akan ke toko buku. Keperpustakaan. Atau kerumah teman yang kira-kira punya buku yang saya butuhkan. Atau kalau sedang ada uang maka akan kubeli ditoko buku. Tapi saat belum ada uang maka biasanya saya masuk perpustakaan lalu mencurinya utnk kubaca di rumah. Lalu akan kupakai untuk tulisan-tulisanku.
***
Setelah kebiasaanku menulis dikoran-koran kampus datang tawaran untuk menulis ke koran lokal. Koran kotaku yang cukup bergengsi. Seorang wartawan yang sering bergaul dengan kita sempat membaca tulisan saya dalam media pemenangan saya dalam persaingan memperebutkan kursi presiden mahasiswa. Dia tertarik. Dia merasa saya bisa menulis. Dan dia tawarkan 'nulis aja di tribun timur. Kalau sabtu tribun punya komitmen untuk memberikan kesempatan untuk teman-teman mahasiswa mengisi rubrik opini. Dan sejak saat itu saya mulai mencari-cari tema serta mempelajari usungan jurnalisme serta bahasa jurnalistik media ini. Saya terus diskusi untuk mencari inspirasi tulisa. Ini kulakukan lama. Lama sekali. Mungkiinkarena saya melihat ini koran yang pembacanya sudah ratusan ribu. Karena itu seleksinya pasti ketat. Inilah kadang yang membuat saya gentar untuk menuliskan sesuatu. Saya kalah sebelum pernah mengirimkan tulisanku ke koran dimaksud. Saya bunuh diri sejak dini setiap saya melihat yang menulis adalah pofessor, doktor atau orang-orang dengan gelar serta kepintaran yang diakui oleh publik.
Sampai suatu ketika saya membaca opini hari sabtu dan kulihat seorang yang kukenal mengisinya. Kawan saya dari ekstra yang lain. Saya lalu melihatnya. Mempelajarinya. Dan ketika itu juga saya merasa tulisan kaya ini saya juga bisa. Dan ini menginspirasiku untuk menuliskan kembali pikiranku. Sambil saya ke kawan ini untuk memintainya saran serta mengetahui syarat-syarat teknisnya. Sejak itu dia beri tahu. Syarat serta gaya bahasanya. Dan akhirnya satu tulisan selesai dengan syarat yang diberitahukan ke saya. Judul tulisannya terjebak kesalehan simbolik. Lama saya membawa naskah hasil print outnya. Setiap kali saya melihat sebior yang kira-kira bisa dimintai pertimbangan. Dan saya memperlihatkan tulisanku dia membacanya lalu akan bilang 'kirimkan saja dulu. Nanti kalau masuk redaksi akan diberikan saran apa yang kurang'. Karena inilah saya memberanikan diri membawa flah disk dan print out tulisanku kekantor sebuah harian.
Panjang tulisanku ini dua halaman lebih. Dan memang aturannya disini sekitar dua setengah halaman denga spasi rapat serta huruf times new roman. Dan kupenuhi semua syarat teknis itu. Saya kumpulkan keberanian dan akhirnya kubawa tulisanku ini. Setelah kubawa saya melihat-lihat koran terbitan sabtu. Ternyata setelah tiga sabtu terlewati tulisanku tidak juga muncul. Dan saya mulai merasa sepertinya tulisanku belum layak terbit. Standar redaksi masih belum saya penuhi mungkin. Dan saya pasrah. Saya harus belajar lagi mungkin. Ia. Saya sedikit merasa belum mampu. Tapi dalam perasaan yang saya bawa ini ternyata di sabtu yang keempat tulisan ini terbit. Tapi ini saya tau dari teman setelah masuk SMSnya kalau tulisanku terbit. Dan saya merasa pun ya keprcayaan diri. Say mulai tumbuh. Saya merasa ide saya diterima oleh publi. Saya merasa satu dari sedikit orang yang bisa menembus kolom opini harian ini. Dam setelah ini terbit lagi tulisanku beberapa kali. Sampai suatu saat dosenku dikampus mengomentari saya dengan 'bagus tulisanmu bos'.
Saya dialangit saat ini. Saya sedang tinggi-tingginya. Saya merasa di tengah kepercayaan diri yang luar biasa. Tapi ini ternyata tidak begitu bertahan lama karena setiap tulisanku tidak terbit saya akan merasa lagi kalau saya kayaknya sudah tidak bisa melakukannya kembali. Tapi kucoba terus menerus menulis sampai ada lagi tulisanku yang terbit.
Begitulah cerita saya bersam tulisan saya dikoran yang akan selalu merisaukan saya. Dan dibalik itu semua saya akan selalu bergelut dengan buku-buku setiap akan menyelesaikan satu tulisan.
***
Saking senangnya saya dengan buku saya selalu menyempakan diri untuk melihat gramedia setiap saya ke mall. Dan saya selalu ointens melihat perkembangan buku-buku terbaru. Walau tak semuanya bisa kubeli dan kubaca. Kesenangan saya terhadap buku ini juga berimbas pada kehidupan perasaan saya terhadap seorang perempuan. Saya akan selalu berdiskusi tentang buku yang saya baca kedia. Dan sekali waktu saya berikan buku untuk dibacanya.
Sampai sebuah catatan yang hampir setebal buku yang kubuat sekitar lima puluhan halaman sengaja hanya untuk kuberikan keseseorang yang saya serius sayang sama dia. Saya memberikannya pas pada saat hari ulang tahunnya. Sebuah catatan perkenalan dengannya berjudul catatan-catatan perkenalan tegur sapa setahun bersama rufyani pratiwi. Buku ini berisi kesan-kesan saya berjumpa dengannya. Yang saya ingat semuanya saya catatkan dalam narasi yang serupa novel ini. Dan selain tulisan itu saya selipkan sebuah esey ucapan selamat ulang tahun. Saya selipkan untuk memberikannya ucapan selamat ulang tahun.
Buku catatan ini kutuliskan karena saya terinspirasi oleh sebuah novel berjudul aku, buku dan sepotong sajak cinta yang dikarang oleh muhiddin m dahlam. Buku ini berisi cerita tentang kisah perjalanan penulisnya menjadi penulis yang disela-selanya itu ada kisah cinta dengan seorang perempuan yang pada akhirnya membuatnya kecewa. Hubungan cinbtanya yang anhe ia jalani dengan mengirimkan kekasihnya buletin yang berisi kata-kata serta pernyataan cintanya melalui tulisan serta sajak.
Ini menginspirasiku untuk memberikannya sebuah buku yang saya sendiri mengarangnya. Tapi buku itu masih buku yang belum sebuah buku resmi. Hanya sebuah catatan yang saya print out lalu kujilid.
Suatu ketika dia datang dengan teleponnya mengkonfirmasi tentang apa yang saya tulis tentang hubunganku dengan dia ada yang salah. Ada potongan cerita yang menurutnya tidak sesuai dengan apa yang dia ingat tentang kejadian yang saya catatkan. Lalu kujawab 'anggaplah ini karya sastra yang tak ada hubungannya dengan cerita kita'.
Dicatatan yang kutambahi dengan beberapa kutipan referensi dari penulis-penulis yang terkenal. Seperti Nietzhe, Ivan Illich atau pramudya. Dan isinya adalah pernyatan saya cinta padanya. Dan kuharap dia bisa menangkapnya sebagai sebuah keseriusan yang sungguh-sungguh. Itu harapanku
***
Saya dan buku ternyata sudah sangat intim. Saya seperti seorang kekasih yang setiap kali ada soal maka akan lari kepadanya. Begitulah saya juga kepada buku. Setia[p ada soala maka akan kucari jawabnya dibuku. Atau kubuat buku untuk menyelesaikan atau mengungkapkan perasaan yang menjadi soal dalam hatiku.
Buku ini seperti menjadi pacar. Sperti kekasih nan intim. Seperti sahabat. Mungkin juga kaya ibu. Dia memberiku banyak hal dari hubungan diam-diam ini. Bahkan ketika saya jatuh hati pada seorang perempuan, buku membantuku. Ia memfasilitasiku. Buku adalah ladang insirasiku menghadapi soal-soal bahkan sampai kesoal-soal perempuan yang kutempati jatuh hati.
Ia. Beginilah ceritaku bersama buku. Sampai pada soal-soal yang sangat intim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar