Jumat, 16 Maret 2012

Etika Politik Indonesia

Sebelum kita mmebicarakan masalah etika, sudah terbayang dalam ingatan kita beberapa sulit mendefinisikan etika secara tepat . masalah etika sedemikian kompleks dan banyak yang terkait denganya. Itulah sebabnya politik sulit dicari definisi yang paling sesuai. Apa lagi jika etika harus dibedakan dengan moral. Bayangan kesulitan akan muncul seketika pula pula. Sebelum membahas etika lebih lanjut ada baiknya kita melihat contoh di bawa ini.
Suatu saat anda mengikuti suatu kuliah di kampus anda. Anda termasuk orang yang cuek terhadap penampilan. Pokoknya apa yang anda kenakan itulah diri anada bagi anada mahasiswa itu yang penting “Otak”-nya dan bukan penampilan. Sebab , segala aktifitas perkuliahan dan dunia kemahasiswaan hamper seluruh dilakaukan dan dipecahkan dengan mengunakan otak. Karena demikian alasan anda, dalam kuliah pun anda terkesan penyepelekan sesuatu yang berwujud fisik. Pada pertengahan kuliah, sambil mendengarkan keteranagan dosen, anda mengangkat kaki dan diletakkan diatas bangku anda. Bagi anda tiada masalah sebab kuliah itu yang penting adalah “otak”. akan tetapi, cerita tersebut ternyata tidak berhenti sampai disitu saja. Dosen dan teman-temananda bereaksi atas perilaku anda. Banyak beragam reaksinya, ada yang hanya membantin atau anda dikatakan tidak mempunya sopan santun.
Cerita diatas merupan realitas konkret yang terjadi di masyarakat kita, bias jadi itu sekedar contoh kecil. Bahwa apa yang menurut kita baik, belum tentuk baik juga menurut kebanyakan orang. Masalahnya, kita hidup dengan orang lain atau tepatnya dalam masyarakat. Dalam masyarakat ada aturan-aturan tertentu baik tertulis atau tidak tertulis yang di yakini sebagai tolak ukur dalam sikap dan perilaku anggota kelompoknya, meskipun diakui juga bahwa aturan para komunitas masyarakat berbeda satu sama lain. Intinya bahwa aturan (salah satunya etika) itu penting jika kita merupakan manusia normal dan menjadi konsepkuensi tata pergaulan social. Karena manusia normal jelas membutuhkan pergaulan dengan masyarakat. Dalam proses pergaulan, jelas dibuthkan peraturan agar terjadi harmoni kehidupan sebab, jarang manusia yang tidak membutuhkan harmoni dan keteraturan.
A. Etika, Etik, Dan Moral
Pernakah kita mendengar kata-kata bahwa mariolitas bangsa Indonesia sudah bobrok? Pernyataan ini sering kita dengar jika di kaitkan dengan praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang semakin mengalami peningkatan. Para elit politik yang awalnya getol menyuarakan pemberantasan KKN tersebut. Termasuk komentar bahwa mereka rela untuk saln mengklaim diri dan paling benar dan menyalahkan pihak lain. Apa pun caranya di lakukan untuk kepentingan politik.
Di sisi lain, kita juga sering mendengar anggota DPR yang jarang masuk kantor pada masa sidang. Dari masa sidang. Dari masa Sidang satu I (16 Agustus – 27 September 2002), Sidang II (28 Oktober – 29 November 2002), dan sidang III (13 Januari – 7 Maret 2003) lima praksi terbesar di DPR ternyata mempunyai anggota yang jarang atau tidak pernah hadir dalam persidangan itu. Setidaknya, ada sekitar 16 anggota FPDI-P, 5 Anggota FPG, 4 Anggota F-PPP, 3 FKB, dan 1 anggota F-Reformasi yang tidak pernah hadir. Para anggota DPR yang tidak pernah hadir tersebut biasa dikatakan tidak mengetahui kode etik DPR.
Sebelum membahas etika politik, perlu digaris bawahi tentang pengertian etika. Disamping itu, juga perlu diketahui pengertian moral.
Kata moral berasal dari bahasa latin mores. Mores berasal dari kata mos yang berarti kesulilaan, tabiat, atau kelakuan. Demikian, moral bias di artikan sebagai ajaran kesusilaan. Moralitas berarti hal mengenai kesusilaan. Yang membuat ajaran baik-buruknya perbuatan dan kelakuan. Dari asal katanya bias di tarik kesimpulan bahwa moral mempunyai pengertian yang sama dengan kesusilaan, yang membuat ajaran tentang baik buruknya perbuatan jadi perbuatan di nilai sebagai perbuatan yang baik atau perbuatan yang buruk (Burhanuddin salam, 2000).
Sementara itu, istilah etika berasal dari kata latin Ethic. Sedangkan dalam bahasa Gerik Ethikos (a body of moral principles or values). Dengan demikian, ethic berarti kebiasaan habib, custom. Yang di maksud dengan baik atau buruk dalam hal ini yang sesuai dengan kebiasaan masyarakat atau tidak, meskipun kebiasaan masyarakat akan berubah sejalan dengan perkembangan masyarakat, etika dengan sendirinya bisa di artikan sebagai ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang jahat. Etika sendiri sering digunakan dengan kata moral, susila, budi pekerti dan akhlat.
Ada kesan bahwa antara moral dengan etika itu tumpang tindih pengertianya. Moral berbicara dengan prilaku baik dan buruk, sementara etika etika juga begitu, untuk memperjelasnya, mengapa perlu ada batasan tentang etika, definisi yang sedikit netral bias kita jumpai dalam kamus besar bahasa Indonesia yang menerangkan bahwa etika adalah (1) ilmu tentang apa yang baik dan buruk dan tentang hak dan kewajiban moral; (2) kumpulan asas/nilai yang berkenaan kewajiban dengan akhlat; (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh golongan tertentu
Menurut K. Bertens (1994), etika adalah ilmu yang membahas tentang moralitas atau tentang manusia sejauh yang berkaitan dengan moralitas. Dengan kata lain etika adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku moral. Secara lebih sederhana Prof. I.R Poedjowijatna (1986) mengatakan bahwa sasaran etika khusus kepada tindakan-tindakan manusia yang dilakukan dengan sengaja. Dalam pratiknya sasaran manusia juga karena tindakan itu merukan kesatuan dan keutuhan. Lapangan penyelidikan etika memang manusia tetapi etika berbeda dnegan ilmu manusia. Karena ilmu manusia menyelidiki manusia itu sendiri dari sudut “luar”. Artinya , badannya dengan segala apa yang perlu untuk badan itu, objek materi etika tetap manusia, tetapi objek formalnya adalah tindakan yang dilakuakan demngan sengaja.
Franz Magnis-suseno (2001) membedakan etika menjadi dua, yakni etika umum dan etika khusus. Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip dasar yang berlaku bagi segenap tindakan manusia, sedakan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungannya dengan kewajiban moralmanusia dalam berbagai lingkup kehidupannya. Dibedakan antara etika invidual yang mempertanyakan kewajiban manusai bagi invidu, terutama terhadap dirinya sendiri dan melalui suara hati, terhadap yang ilahi dan etika sosial.
Etika social jauh lebih luas di banding etika invidual karena hamper semua kewajiban manusia bergan dengan dengan kenyataan bahwa ia merupakan mahluk social. Dengan bertolak dari martabat manusia sebagai pribadi yang sosial, etika sosial membahas norma-norma moral yang seharusnya menentukan sikap dan tindakan antar manusia.
Dalam pembahasan yang lebuh kongket, K. Bertens memilih-milah defenisi etika kedalam tiga hal berikut :
1. Kata etika bias dipake dalam arti nilai-nilai moral. Yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, misalnya jika orang berbicara tentang “ etika suku Indian”, “etika agama Budha”, etika Prosestan”, maka tidak dimaksudkan “Ilmu” melainkan nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh golongan tertentu. Secara singkat, arti ini bias dirumuskan sebagai “sistem nilai”.
2. Etiak jugaa berarti juga kumpulan asas atau nilai moral. Yang dimaksud disini adalah kode etik (misalnya kode etik DPRmisalnya dan sebagainya).
3. Etika termasuk ilmu tentang yang baik atau yang buruk. Etika beru menjadi ilmu, bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja yang diterima dalam suatu masyarakakat-sering kali tampa disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu penilitian sistimatis dan metodis . etika disini sama artinya dengan filsafat moral.
Untuk menjelaskannya, bartens kemudian mencoba menjelaskan kaitan antara etika, moral, dan etiket. Bagianya secara etimologi etika dan moral sama artinya, meskipun asal katanya berbeda, tetapi bias bararti bahwa etika merupakan moral itu sendiri, sedangkan etika itu berarti sopan santun.
Lalu jika demikian apakah ada perbedaan antara etika dengan etiket? Ada beberapa perbedaan yang bias dilihat sebagai berikut
a. Etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan manusia. Diantara beberapa cara yang mungkin, etiket menunjukan cara yang tepat, artinya cara yang di harapkan serta di tentukan dalam suatu kalangan tertentu. Misalnya, menyerahkan buku dengan tangan kiri pada orang tua. Namun demikian, etika tidak terbatas pada cara dilakukannya seatu perbuatan, etika member etika tentang perbuatan itu sendiri, etika menyakku masalah apakah suatu perbuatan boleh dilakukan atau tidak. Mengambil barang milik orang lain tampa isin tidak pernah di perbolehkan. “jangan mencuri” merupakan norma etika. Norma etis tidak terbatas pada cara perbuatan dilakukan, melainkan menyangkut perbuatan itu sendiri.
b. Etiket berlaku dalam pergaulan. Bila tidak ada orang lain yang hadir atau tidak ada saksi mata sekali pun, etika tidak tergantung pada hadir tindakannya orang lain. Larangan untuk mencuri selalu berlaku, entah ada orang lain atau tidak. Barang yang dipinjam harus di kembalikan meskipun pemiliknya sudah lupa.
c. Etiket bersifat relatif. Hal yang di anggap tidak sopan pada suatu kebudayaan lain. Etiaka jauh lebih absolute. “Jangan Mencuri”, “Jangan Berbohong”, “Jangan Membunuh” merupakan prinsip-prinsip etika yang tidak dapat ditawar atau diberi dispensasi, memang benar ada kesulitan cukup besar mengenai keabsolutan prinsip-prinsip etis yang jelas etiket lebih bersifat relatif.
d. Jika kita berbicara etiket, kita Cuma memandang manusia dari segi lahiriah, sedangkan menusi menyangkut manusia dari dalam bias saja orang tampil dedang “Musang Berbulu Domba”, dari luar sangat sopan dan halus, tap didalam penuh kebusukan, banyak penipu berhasil dengan maksud jahat mereka, justru penampilannya begitu halus dan menawan hati sehingga sehingga mudah meyakinkan orang lain, tidak merupakan kontradiksi, jika seseorang selalu berpegang pada etiket dan bersifat munafik, sebab seandainya di munafik, hal itu berarti ia tidak bersifap etis.
Dalam berbagai pendapat diatas, bias dikatakan bahwa etika merupakan dari filsafat, sedangakan moral merupakan bagian dari etika. Seperti dikatakan Franz Magnis-Suseno, etika adalah ilmu yang membahas moralitas atau manusia sejauh berkaitan dengan moralitas. Bahkan seperti dikatakan oleh Louis O. Kattsoff dalam bukunya Element of philosophy,etika merupakan penyelidikan filsafat tentang bidang moral dan etika itu sama, tetapi dalam pemakeyannya ada perbedaan.
B. Mengapa mempelajari etika?
Pertanyaan kita mengapa kita perlu mempelajari etika, mengapa masyarakat membutuhkan etika? Lebih khusus pertanyaan tersebut bisa di perinci begini : mengapa dengan proses komunikasi diperlukan etika?
Untuk menjawab pertanyaan diatas terdapat banyak kreteria dan tafsiran yang bias di ajukan yang bias di juakan, apalagi, masalah etika itu berkaiatan dengan masyarakat yag berbeda serta akan berubah atau rentang waktunya. Bisa jadi, ukuran sesuatu di katakana beretika puluhan tahun yang lalu berbeda dengan saat sekarang, puluhan tahun yang lalu, para politikus di Indonesia merasa malu untuk melakukan “kecurangan politik”. saat ini,haldemikian dilakukan secara terbuka. Menculnya praktik politik uang dalam pemilihan gubernur, wali kota dan bupati. Adalah realitas konkret dimana dimana masalah etika politik berbeda sesuai kurum waktunya. Maka mempelajari atau mempraktikkan etika moral dalam kehidupan bermasyarakat sudah menjadi satu keharusan.
Ada beberapa alasan mengapa kita perlu mempelajari.
1. Saat ini kita hidup dalam masyarakat yang terus berkembang. Perkembangan demikian akan membuat masyarakat semakin plural. Misalnya, suku, agama, antargolongan, tuntutan hidup, kejahatan yang kiann meningkat dan sebagainya, hal ini sejalan dengan tingkat dan sebagainya. Hal ini sejalan dengan tingkat perkembangan masyarakat. Pluralitas yang demikian akan berdampak pada kepentingan individu yang kian tajam. Sebagai mana kita ketahui, perkembangan tehnologi komunikasi khususnya berdampak pada pemupukan sifat individu manusia. Padahal manusia kodratnya juga sebagai mahluk social. Hidup bermasyarakat. Tampa etika, manusia akan manjadi “Pemangsa” bagi sesamanya. Etika akan mengajarkan atau akan mengarahkan perbuatan mana yang baik dan buruk atau perbuatan mana yang boleh dan tidak menurut etika masyarakat umum.
2. Bagaimana dikatakan Romo Magnis-Suseno, etika diperlukan kalangan agamawan yang di satu pihak menemukan dasar kemantapan mereka dalam iman dan kepercayaan mereka, di pihak lain sekaligus mau berpartisipasi tampa takut-takut dan dengan tidak menutup diri. Dalam semua dimensi kehidupan masyarakat yang berubah. Jika kita tarik benan merah dari pendapat Romo tersebut, etika penting sebab akan bisa mengukuhkan keyakinan iman seseorang. Sebab, perbuatan itu baik itu di anjurkan oleh semua agama. Tidak ada agama yang menganjurkan penganutnya untuk mencuri. Malahnya, masyarakat yang semakin plular juga membuka peluang komflik antarumat beragama semakin terbuka lebar. Pada hal mereka “Kaum agamawan”. Mengapa ajaran agama yang memberikan penekanan bahwa berbut baik itu baik, tidak jarang mereka justru menyulut permusuhan. Disenilah etika itu penting sebagai pedoman hidup bermasyarakat. Pendapat ini tidak di masukan bahwa etika itu lebih tinggi dari ajaran agama. Akan tetapi , mereka kaum agamawan yang di anggap lebih tauh ajaran agama senang dengan komflik dan menyulut permusuhan dengan agama lain? Bukankah mereka sendiri yang menurunkan kadar ajaran agama ajaran agamanya sendiri.? Dalam posisi ini, etika penting, palin tidak sebagai “ajaran” yang netral. Alasannya pula, semua agama mengajarkan etika yang sama.
Masyarakat modern yang cenderung hidup dalam individualism disertai kompetisi hidup yang semakin ketat ini menuntuk masing-masing orang untuk bertahan. Masing-masing orang harus bersaing dalam kehidupan yang semakin semakin keras dan tajam bahkan bersaing dengan pihak-pihak yang hanya mau menang sendiri. Kepentingan individu untuk bertahan di tengah persaingan yang ketat inilah yang menjadi ancaman etika. Sebab Anggota DPR mau belajar Etika ke Yunani? Bagus! Nampaknya para anggota DPR yang terhormat cukup peka juga terhadap masukan dari masyarakat perihal perilaku mereka yang tidak etis, seperti saling memaki atau bahkan baku pukul di sidang DPR atau di studio TV, atau bertingkah arogan terhadap pejabat-pejabat negara, wa bil khusus Kapolri dan Jaksa Agung, bahkan Presiden juga termasuk. Maksud para anggota DPR itu tentunya, kalau mereka sudah belajar etika ke Yunani, maka mereka bisa mengajari rekan-rekan anggota DPR yang lain untuk beretika juga, sehingga NKRI nantinya akan mempunyai DPR yang santun dan menyejukkan, walaupun tidak berkurang kritisnya. Bagus lagi!
Tetapi mengapa ke Yunani? Tanya wartawan. Karena etika diajarkan oleh filsuf-filsuf Yunani seperti Socrates, Plato dan Aristoteles, atau yang lebih terkenal dengan trio-SPA. Tidak bagus! Kenapa? Karena trio-SPA hidup di Yunani 400 tahun Sebelum Masehi. Yunani ketika itu masih disebut sebagai Yunani Kuno, yang masyrakatnya masih terbatas di di seputar kota Athena, dan struktur masyarakatnya jauh berbeda dari Yunani modern yang kita kenal sekarang. Yang jelas trio-SPA sudah almarhum semua. Terus mau belajar sama siapa?
Semua orang di seluruh dunia, di zaman sekarang, kalau mau belajar dari trio-SPA bisa membaca buku-buku mereka yang sudah diterjemahkan ke dalam hampir semua bahasa dunia. Yang dalam bahasa Indonesia pun ada dan bisa dibeli di toko-toko buku. Kalau kurang puas dengan trio-SPA, dan mau belajar lebih mendalam dari guru yang pandai, di dunia ini tersebar pakar-pakar filsafat etika, baik yang sudah almarhum seperti Emanuel Kant, John Stuart Mill atau Jeremy Bentham (buku-buku mereka juga banyak sekali), maupun yang masih segar bugar. Di Indonesia sendiri banyak sekali profesor etika yang dengan mudah dijumpai di berbagai fakultas atau program studi filsafat di universitas-universitas (UI, UGM, UIN), atau di sekolah-sekolah tinggi (ST Teologia, ST Filsafat Driyarkara). Saya sendiri belasan tahun lamanya mengajar Filsafat Etika di UI (Prodi S1 Psikologi, dan Prodi S2 Kajian Ilmu Kepolisian).
Jadi ide balajar etika, bagus! Tetapi kalau belajarnya harus ke Yunani, tidak bagus! Ibaratnya akan belajar Islam, tidak usah mencari kuburan Rasulluah di Medinah sana, cukup membuka Al Qur’an dan kitab Hadists di rumah, dan kalau masih merasa kurang, bisa bertanya ke Kiai di pesantren dekat rumah, atau tanya ke twitter-nya Profesor Komarudin Hidayat.
Tetapi untuk belajar etika, sebetulnya kita tidak usah belajar ke siapa-siapa. Kong Hu Cu (atau Confusius, 551-479 SM) pernah mengajarkan the Golden rule of Ethics yang bunyinya seperti ini (saya kutip dari Wikipedia), "What one does not wish for oneself, one ought not to do to anyone else; what one recognizes as desirable for oneself, one ought to be willing to grant to others.", yang terjemahan bebasnya kira-kira adalah “Kalau kamu tidak mau disakiti orang lain, janganlah menyakiti orang; kalau kamu mau dibaiki orang, maka baik-baiklah pada orang lain”.
Sangat mudah bukan? Tetapi prakteknya memang tidak begitu mudah, karena sebagai manusia, kita semua senang melihat orang lain susah, tetapi susah kalau melihat orang lain senang. Nah, di sinilah datangnya egoisme. Menurut psikoanalis Sigmund Freud, egoisme itu manusiawi, karena semua aktivitas manusia terpusat di Ego yang merupakan bagian utama dari jiwa manusia. Tetapi ego ini, kata Freud, perlu dikendalikan, agar tidak didominasi oleh bagian lain dari jiwa yang disebut Id, yaitu tenpat naluri-naluri hewaniah, termauk hawa nafsu, tersimpan. Kalau Ego terlalu menuruti kemauan Id, kata Freud, maka perilakunya akan mengganggu orang lain, atau masyarakat. Di situlah pentingnya Super-ego, yaitu bagian jiwa yang tugasnya mengendalikan ego agar selalu memperhatikan norma-norma, nilai-nilai dan etika agar tidak menimbulkan masalah dalam ke;uarga, tetangga dan masyarakat.
Tetapi dari mana datangnya Super-ego ini? Kata Freud, berbeda dari Id yang merupakan faktor bawaan (dibawa sejak lahir), Super-ego diperloleh secara bertahap dari masukan orangtua. Orangtualah yang mengajarkan apa yang boleh atau yang baik dan yang tidak boleh atau yang tidak baik kepada anak-anaknya. Jadi belajar etika tak perlu jauh-jauh ke Socrates atau Kong Hu Cu, cukup menengok kata orangtua. Orangtua biasanya mengajarkan pada anak-anaknya untuk selalu hormat kepada oramg yang lebih tua, menghargai dan melindungi perempuan atau orang yang lebih lemah, menjaga perasaan orang lain dan sebagainya. Orang Jawa punya sejumlah pedoman perilaku yang tergolong etika seperti ing ngarso sung tulodo, ing madyo mbangun karso, tut wuri handayani (etika untuk pemimpin), atau ojo gumunan (jangan cepat kagum), ojo dumeh (jangan mentang-mentang), tepo saliro (mawas diri sebelum menilai orang lain), menang tanpa ngalahake (menang tanpa perlu mengalahkan orang lain), mo-limo (lima pantangan), dan seterusnya. Kebanyakan etika Jawa itu ditulis oleh pujangga-pujangga Jawa bersumber dari petuah-petuah orang-orang tua jaman kuno, tetapi tidak satupun yang mengacu kepada para filsuf Yunani.
Begitulah, setiap kelompok budaya punya etikanya masing-masing. Nilai universalnya mungkin sama, namun perwujudannya bisa berlainan. Di Indonesia, penghargaan terhadap orangtua yang udah lanjut usia adalah dengan cara memintanya tinggal di rumah salah satu anak untuk dijaga dan dirawat baik-baik Di Belanda orangtua dihargai dengan menempatkannya di panti jompo yang mahal dan full facility. Sementara itu suku Eskimo mengormati kakek-kakek veteran pemburu yang perkasa, dengan membawa mereka ke tengah padang salju yang maha luas dengan dilengkapi makanan dan alat berburu secukupnya dan meninggalkannya begitu saja dengan kepercayaan bahwa kakek itu akan mencari jalannya sendiri menuju apa yang mereka namakan sebagai “padang perburuan abadi”.
Komunitas profesi pun punya etika masing-masing: dokter, polisi, pengacara, psikolog dan sebagainya. Etika itu biasanya merupakan hasil kesepakatan dari orang-orang yang paling dipercaya di komunitas masing-masing (di Ikatan Dokter Indonesia oleh Majelis Kehormatan Kedokteran) dan dirumuskan seara tertulis dan dibukukan. Karena bentuknya sudah tertulis dan dikodifikasi sebagaimana laiknya undang-undang, maka etika profesi itu biasa disebut Kode Etik (seperti Penal Code, untuk hukum Pidana).
Agama juga punya etika. Dalam agama-agama Yahudi, Kristen dan Islam, dipercaya bahwa etika itu dituliskan sendiri oleh Tuhan dan diberikan kepada Nabi Musa a.s. dan disebut dengan “10 Perintah Tuhan”. Tetapi karena namanya juga agama, maka empat butir pertama dari 10 PerintahTuhan itu menyangkut hubungan dengan Tuhan sendiri, yaitu (1) Akulah Tuhanmu, (2) Jangan menyembah Tuhan lain, (3) Jangan menyia-nyiakan/menyalahgunakan nama-Ku, dan (4) Selalu sucikan hari Sabbath. Baru pada enam butir berikutnya Tuhan mengatur etika dalam hubungan antar manusia, yaitu (5) Hormati ayah-ibumu, (6) Jangan membunuh, (7) Jauhi Zina, (8) Jangan mencuri, (9) Jangan memberikan kesaksian palsu tentang tetanggamu dan (10) Jangan menginginkan harta atau isteri tetanggamu.
Fokus etika dalam agama Budha, adalah dalam hubungan antar manusia saja, yang intinya adalah sesama mahluk harus saling menyayangi dan mengasihi, karena dalam Budha tidak dikenal konsep Tuhan seperti yang dianut oleh agama-agama Yahudi, Kristen dan Islam. Tetapi dalam agama Yahudi, Kristen dan Islam pun jelas dipisahkan antara hubungan manusia dengan Tuhan (dalam istilah Islam: hablul minallah) dan hubungan antar sesama manusia (hablun minanas). Keduanya sama pentingnya, bahkan sebagian ulama (Islam) mengatakan bahwa kalau ada yang harus didahulukan maka hubungan sesama manusia harus diberi prioritas dari pada hubungan dengan Tuhan. Jadi, menolong orang yang sedang mengalami kesusahan, misalnya, tetap harus dilakukan, walaupun orang tersebut tidak seiman dengan kita. Susahnya, sebagian dari kita sering menukar-nukar prioritas. Demi memriotitaskan hubungan dengan Tuhannya (membela Tuhan), sah-sah saja menganiaya orang lain yang tidak seiman.
Karena itu etika yang diajarkan oleh oleh para filsuf Etika sejak zaman Trio-SPA sampai Ki Hajar Dewantara sebagian besar menyangkut hubungan antar manusia saja, bukan hubungan dengan Tuhan. Karena itu, sesuai dengan premis awal di tulisan ini, belajar etika yang terbaik adalah di lingkungan sendiri, bahkan di rumah sendiri.
Sistematika pembahasan
Masalah etika terkait dengan cara berfikir (way of thought) manausia pada umum. Jika cara berfikir sese’orang berbeda,keseluruhan pengalaman hidupnya akan berbeda, tetapi juga memiliki fikiran, perasaan, sikap, dan keinginan berbeda. Oleh karena pertimbangan inilah, “tidakan etis” manausia tidak dapat dipisahkan dengan cra berfikirnya. Terdapat semacam hubungan timbal balik antara keduanya. Cara berfikit dapat dijelaskan dan digambarkan dari pemikiran etika manusia, dan “tindakan etis” merepresentasikan atau merefplesikan cara berfikir manusia (Abdullah: 2002, h. 38).
Etika adalah bagian dari fisafat yang membahas tentang nilai, etika di defisinikan sebagai filsafat moral, atau sistematika moral (magnis suseno: 1993, Bertens: 2001). Sedangkan ilmu etika adalah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar